Minggu, 29 April 2012

Mengapa Berteologi?


Maukah anda menyerahkan nyawa untuk suatu perkara yang tidak Anda pahami sepenuhnya? Maukah Anda berusaha meyakinkan orang lain untuk bergabung dengan Anda dalam tindakan itu? Tidak, saya juga tidak mau.

Pernyataan di atas saya kutip dari kata pendahuluan buku terakhir yang ditulis (alm) Charles Colson, The Faith. Colson menjelaskan bahwa, “kebanyakan orang yang mengaku Kristen tidak tahu apa yang mereka percayai, dan karenanya tidak dapat memahami atau membela iman Kristen-apalagi hidup di dalamnya.” Hal tersebut membuat pengajaran-pengajaran yang disampaikan kepada orang yang tidak percaya tidak menggambarkan kekristenan sejati.

Saya yakin dalam hal ini Colson tidak berdiri sendirian. Ada banyak orang-orang seperti Colson yang merasa bahwa banyak orang yang mengaku Kristen bahkan tidak tahu doktrin-doktrin asali kekristenan, seperti doktrin tentang Elohim, Yesus Kristus, Roh Kudus, Gereja, dan lain-lain. Jangankan berdiskusi tentang doktrin-doktrin tersebut, orang-orang yang mengaku Kristen bahkan tidak tahu atau lupa siapa tokoh-tokoh dalam Alkitab atau peristiwa tertentu dalam Alkitab.


Luke Timothy Johnson, seorang ahli Perjanjian Baru mengamati :

Umumnya orang Amerika memiliki pengetahuan Alkitab yang sangat dangkal. Dalam dunia di mana kebanyakan orang hampir tidak mengenal isi Alkitab, jika media menampilkan tajuk utama yang memberitakan bahwa fakta tertentu tentang Yesus telah dibuktikan secara tidak benar melalui penelitian yang kelihatannya ilmiah, berita itu seperti kedengaran seperti injil. Kebanyakan orang tidak mempunyai dasar untuk membantah pernyataan-pernyataan yang kedengarannya berwibawa itu.” (dikutip dari kata pendahuluan buku : Reinventing Jesus, Perkantas – Divisi Literatur, Cetakan ke-1, 2011)

Tidak hanya di Amerika Serikat, saya melihat bahwa gejala ketidakmelekan Alkitab sedang tumbuh subur di dalam gereja. Banyak jemaat yang ternyata sangat dangkal pemahaman Alkitabnya. Mereka menganggap bahwa mereka hanya cukup mendengar apa yang pendeta atau pastor mereka khotbahkan tapi tidak mencoba untuk mengambil waktu untuk merenungkan atau mempelajari apakah khotbah yang diucapkan oleh pendeta atau pastur itu Alkitabiah atau tidak. Saya tidak mencoba untuk membangun suatu opini bahwa kita harus menghakimi pendeta atau pastur atas khotbah yang mereka sampaikan. Tapi saya mencoba untuk mendorong jemaat-jemaat Kristen untuk juga dapat berpikir agar tidak terjebak dan jatuh dalam pengajaran yang salah. Saya tidak menuduh seluruh gereja, karena saya masih melihat banyak gereja yang mengutamakan pendalaman Alkitab dalam mengajar jemaat.

Para Pendeta pun tidak lepas dari masalah ini. Sebagai orang-orang yang mempunyai pengetahuan lebih tentang kekristenan sudah seharusnya mereka membimbing jemaat Tuhan dalam kebenaran. Tapi saat ini para pendeta lebih suka memikirkan bagaimana untuk menyenangkan telinga jemaat Tuhan daripada memikirkan sebuah khotbah untuk kemuliaan Tuhan. Para pendeta dan penginjil lebih takut kehilangan jemaat di gerejanya ketimbang takut dengan penghukuman Tuhan. Para pendeta tidak lagi berkhotbah dengan cara menekankan pembelajaran Alkitab karena takut khotbah mereka akan menjadi lama dan membosankan di hadapan jemaat. Hasilnya adalah jemaat-jemaat Tuhan yang instan dan tidak berakar dalam kebenaran Firman Tuhan.

Hal ini semakin menyulitkan pemberitaan Injil bagi umat manusia. Kekristenan sudah sejak lama diserang oleh pengajaran-pengajaran liberal dan ateisme, kini ditambah lagi dengan gejala ketidakmelekan Alkitab dan malasnya orang-orang Kristen untuk mempelajari secara mendalam kekristenan. Tidak sampai di situ, perkembangan agama Islam yang meningkat drastis dan hidupnya kembali agama-agama ketimuran dalam jubah agama zaman baru (new age) semakin melimbungkan kekristenan. Eropa dan Amerika Serikat yang dulu dikenal sebagai markas kekristenan, saat ini harus ditinjau ulang lagi. Saat ini lebih mudah untuk memberitakan tentang Islam dan agama-agama ketimuran di dua benua tersebut ketimbang memberitakan Injil.

“...kebanyakan orang Kristen tidak memahami apa yang mereka percayai, mengapa mereka mempercayainya, dan mengapa hal itu penting. Bagaimana mungkin kekristenan yang tidak dipahami dapat dipraktikan?” ~ The Faith, Charles Colson.

Sekali lagi pernyataan (alm) Colson menohok apa yang kita yakini selama ini. Kita merasa bahwa kita sudah memahami kekristenan. Tapi kalau mau jujur, tingkat pengetahuan kita akan kekristenan hanyalah sampai pada tingkat kulit semata. Banyak orang-orang Kristen adalah berasal dari Kristen tradisi, hanya karena orang tua mereka adalah orang Kristen. Atau sebatas pada Kristen emosionalisme, hanya berdasar pada perasaan tertentu. Kenapa saya berani berkata seperti itu? Karena saya telah mengalami hal-hal seperti itu dalam kehidupan saya, hidup dalam pasir kekristenan palsu.

Saya cukup banyak melihat orang-orang Kristen yang tidak memiliki wawasan yang benar tentang teologi. Kita telah bertumbuh dalam suatu keyakinan bahwa budaya dan tradisi adalah penentu dan pembentuk diri kita. Kita lebih tahan dan bahkan menyukai untuk duduk lama menyaksikan pagelaran mode, pertandingan olahraga, pagelaran musik dan lain-lain ketimbang duduk tenang mendengarkan khotbah atau mempelajari Alkitab. Kita hidup dalam kekristenan tampilan luar, terlihat relijius di luar tapi di dalamnya keropos.

Iman kita bukanlah sekedar pengalaman mistis, kondisi pikiran tertentu atau suatu konsep pada selembar kertas kosong. Teologi, doktrin dan ortodoksi itu penting karena Tuhan itu riil, dan Ia telah bertindak di dalam dunia kita, dan tindakan-tindakanNya itu mempunyai makna pada hari ini, juga bagi segala masa.” ~ Joshua Harris, pendeta dan penulis buku Dug, Down, Deep.

Bagi banyak orang kata-kata seperti teologi, doktrin dan ortodoksi mungkin sangat asing atau terasa sangat membosankan. Kebanyakan mungkin akan mengkaitkannya dengan para Bapa Gereja Mula-mula atau kepada suatu perdebatan yang alot dan bahkan keras. Saya juga pernah berpikir demikian. Saya menganggap bahwa lebih baik saya mengaplikasikan firman Tuhan dalam kehidupan. Buat apa cape-cape mempelajari teologi, doktrin atau ortodoksi kalau itu cuma hanya jadi pengetahuan belaka. Pandangan ini hanya setengah kebenarannya. Memang benar bahwa Tuhan lebih suka kita menaati firmanNya dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Tapi pertanyaannya adalah apakah kita sudah benar dalam menaati firman Tuhan tersebut. Disinilah teologi, doktrin dan ortodoksi berbicara lebih banyak. Agar kita tidak tergelincir dalam pemahaman yang salah tentang firman Tuhan maka sangatlah penting untuk mempelajari teologi, doktrin dan ortodoksi.

Di dalam tulisan ini saya ingin berbagi bahwa mempelajari teologi, doktrin dan ortodoksi bukan hanya menjadi tugas pendeta dan penginjil, tetapi bagi orang-orang yang rindu memandang Tuhan yang lebih besar dan lebih mulia dari yang dapat dibayangkan pikiran manusia. Saya sedikit demi sedikit sudah mengusahakan setiap harinya untuk mempelajari Alkitab, membaca buku-buku teologis untuk membantu pemahaman saya tentang Firman Tuhan. Hasilnya adalah bahwa apa yang saya anggap dulu adalah suatu yang tidak bermanfaat ternyata sangat mengubah kehidupan saya di dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain itu, mempelajari teologi, doktrin dan ortodoksi membuat kita dapat berbuat lebih jauh, yaitu membela keyakinan iman Kristen di hadapan para penyerangnya, yakni Ateisme, liberalisme, dan agama-agama lainnya.

Selamat berteologi!

Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis.... Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul...” 
~ Kisah Para Rasul 2:41, 42.

Dengan selalu mengingatkan hal-hal itu kepada saudara-saudara kita, engkau akan menjadi seorang pelayan Kristus Yesus yang baik, terdidik dalam soal-soal pokok iman kita dan dalam ajaran sehat yang telah kauikuti selama ini. Tetapi jauhilah takhayul dan dongeng nenek-nenek tua. Latihlah dirimu beribadah..... Sementara itu sampai aku datang bertekunlah dalam membaca kitab-kitab suci, dalam membangun dan dalam mengajar... Awasilah dirimu sendiri dan awasilah pengajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau.” 
~ 1 Timotius 4:6, 13 dan 16.

Minggu, 22 April 2012

R.I.P : Charles "Chuck" Colson


(gambar diambil dari situs http://chuckcolson.org/)


Charles “Chuck” Colson, salah seorang pemimpin dunia penginjilan Kristen, meninggal hari Sabtu sore, 21 April 2012. Chuck Colson berumur 80 tahun.

Dunia penginjilan Kristen kehilangan salah satu suara yang paling fasih dan berpengaruh sampai saat ini dengan kematian Charles W. “Chuck” Colson. Pendiri The Prison Fellowship dan Colson Center for Christian Worldwide meninggal hari sabtu sore akibat komplikasi menyusul pendarahan otak yang dialaminya.” Demikian pernyataan yang dirilis The Prison Fellowship.

Colson menderita pendarahan intracerebral, yang mengakibatkan dirinya menjalani operasi dua minggu yang lalu untuk menyingkirkan gumpalan darah beku di otaknya. Awalnya, kondisi semakin membaik dan dia dapat berbicara dengan istri dan anak-anaknya. Tapi pada Selasa malam, kondisi Colson memburuk dan dokter menyarankan agar seluruh keluarga Colson berkumpul di samping tempat tidurnya di rumah sakit, berjaga-jaga apabila Colson meninggal.

Pertobatan dramatis dan Warisannya.

Selama hidupnya, Colson dikenal sebagai salah satu pemimpin Penginjilan Kristen, komentator budaya, penulis lebih dari 30 buku dan pendiri organisasi penginjilan di penjara, The Prison Fellowship. Tetapi  juga Colson pernah ditakuti dan dijuluki“Hatchet man”-nya mantan Presiden Richard Nixon atau kata David Plotz, penulis di majalah Slate adalah “evil genius”.

Pada tahun 1973, nama Colson menjadi terkenal karena dirinya dianggap terlibat dalam kasus paling memalukan dalam sejarah politik Amerika Serikat, yaitu Watergate. Skandal ini memaksa Presiden saat itu, Richard Nixon harus mengundurkan diri. Sementara Colson sedang menghadapi penangkapan pihak berwajib atas keterlibatannya dalam skandal Watergate, seorang teman dekatnya memberi salinan karya klasik apologetika Kristen, Mere Christianity, karya filsuf Kristen Inggris, C.S.Lewis.



(gambar diambil dari : http://chuckcolson.org/)


Buku ini ternyata membawa dampak luar biasa bagi Colson. Ia bertobat dan kembali kepada iman Kristennya. Tidak sampai di situ, tatkala sedang menghadapi sidang atas dirinya, Colson mengumumkan secara nasional pertobatannya kepada Yesus Kristus dan menjadi berita sensasional saat itu. Colson mengaku bersalah dalam skandal Watergate dan harus menjalani hukuman di Maxwell Federal Prison Camp di Alabama pada tahun 1974. Dua tahun kemudian, Colson menerbitkan memoarnya yang berjudul Born Again dan menjadi best seller. Tahun 1978, riwayat hidupnya dalam Born Again difilm-kan dengan judul yang sama.

Sejak pertobatannya, Colson telah mendedikasikan hidupnya untuk membantu narapidana mengalami transformasi radikal dalam Kristus melalui organisasi nirlaba, The Prison Fellowship. Selama lebih dari 30 tahun, Colson terus menjaga tradisi melayani tahanan di banyak penjara di AS setiap hari Paskah. Tahun ini ternyata menjadi tahun pertama kali sekaligus yang terakhir bagi Colson tidak dapat menghabiskan waktu di hari minggu Paskah di penjara melayani narapidana.

Segala hal baik yang telah saya lakukan ialah karena Tuhan yang dapat menjangkau lebih dalam dari (skandal) Watergate dan menobatkan orang berdosa,” kata Colson dalam pernyataannya di tahun 2008 sebagi respon atas anugerah Presidential Citizens Medal. “Segala sesuatu yang telah berhasil dicapai selama 35 tahun terakhir adalah karena kasih karunia Tuhan dan rancanganNya yang berdaulat.”

Presiden George W. Bush pada tahun 2008, memberikan anugerah The Presidential Citizens Medal, penghargaan tertinggi kedua untuk warga sipil, kepada Colson atas usahanya menjangkau narapidana, mantan narapidana, korban kejahatan dan keluarganya. Anehnya, penghargaan ini diciptakan oleh Presiden Nixon, di mana dulu Colson pernah menjadi salah satu staf khususnya, sebagai pengakuan bagi warga negara “ yang telah melakukan perbuatan yang patut dicontoh atas usaha pelayanan bagi negara dan sesama warga negara”.

“Melalui keyakinan imannya (Colson) yang kuat dan kepemimpinannya, ia telah membantu para pria dan wanita pemberni dari seluruh dunia yang telah melakukan transisi yang berhasil kembali ke masyarakat,” demikian pernyataan Gedung Putih. “ Amerika Serikat menghormati Chuck Colson untuk kebaikan hatinya dan upaya kerasnya untuk memperbaharui semangat hidup dari banyak orang yang tak terhitung jumlahnya.”

Buku terakhirnya, The Faith, adalah seruan kuat dari dirinya bagi gereja-gereja untuk merangkul kembali kebenaran yang mendasar dari ajaran Kristen.

The Prison Fellowship saat ini memiliki 1300 program di beberapa Lembaga Pemasyarakatan di seluruh 50 negara bagian di AS. Para mitra pelayanannya mencakup 7.700 gereja dan memiliki sekitar 14.000 relawan nasional. Secara umum, program-program di Fellowship Prison telah menjangkau para tahanan dan keluarganya di 110 negara.

Selamat jalan Colson, rasul bagi para narapidana. Nikmatilah hari-hari indahmu selamanya di kerajaan Bapa Surgawi bersama-sama dengan Sang Junjungan Agung, Yesus Kristus.

"Remain at your posts and do your duty - for the glory of God and his kingdom"
Chuck Colson (16 Oktober 1931 - 21 April 2012)


Rekomendasi buku karya Chuck Colson :

1. LOVING GOD (sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Pionir Jaya)

2. THE FAITH (sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Pionir Jaya)


Lebih jauh mengenai Chuck Colson :

Minggu, 15 April 2012

APOLOGETIKA BAGI KEMULIAAN TUHAN


Sudah lama saya ingin menuliskan tentang Apologetika. Tetapi karena satu dan lain hal baru saat ini saya bisa menuliskan topik mengenai Apologetika. Ada banyak alasan yang mendorong saya untuk menuliskan topik ini, di antaranya :

1.      Alasan alkitabiah.
Di dalam Alkitab banyak kisah mengenai bagaimana hamba-hamba Tuhan melakukan pembelaan terhadap kebenaran firman Tuhan. Nabi Elia berapologetika menentang kekuasaan yang bobrok dari raja Ahab dan ratu Izebel. Di dalam Perjanjian Baru, kisah-kisah heroik mengenai pembelaan terhadap firman Tuhan sering diceritakan. Para murid Yesus, Stefanus, Filipus, Paulus dan Barnabas, Apolos melakukan Apologetika, membela Injil di hadapan orang-orang. Bahkan Junjungan Agung kita, Yesus Kristus pun melakukan Apologetika pada saat Ia dicobai di padang gurun oleh iblis.

2.      Alasan teologis.
Saya merasakan saat ini serangan terhadap doktrin-doktrin Kekristenan mengalami ekskalasi yang sangat kuat. Doktrin yang paling sering diserang adalah mengenai Ketuhanan Yesus, keberadaan dosa dan reabilitas Alkitab. Tragisnya, serangan-serangan terhadap doktrin-doktrin Kekristenan tidak hanya dilakukan oleh para apologis dari agama-agama lain. Tetapi juga dilakukan oleh kalangan Kristen sendiri. Banyak pendeta yang mulai mengajarkan doktrin yang berlawanan dengan ortodoksi. Mereka terpengaruh dengan ajaran-ajaran Liberal kekristenan. Sebut saja Pendeta Anglikan Inggris, John Shelby Spong. Ia menentang semua hal yang terkait dengan doktrin-doktrin Kristen. Ia tidak meyakini bahwa Yesus adalah Tuhan, ia menentang konsep keberadaan dosa manusia dalam Kristen, dan ia menentang reabilitas Alkitab.

3.      Alasan trend saat ini.
Saya akan mengutip tulisan dari apologis Kristen kenamaan Kristen saat ini, Ravi Zacharias, dalam bukunya yang berjudul Jesus Among Other Gods. Tulisan Dr. Ravi saya anggap tepat menggambarkan trend dunia saat ini tentang Kekristenan. Inilah kutipan dari tulisan dari Dr. Ravi, “Kita sedang hidup dalam suatu zaman di mana sensitivitas dapat meledak setiap saat dengan kata-kata yang menusuk. Secara filosofis, anda dapat mempercayai apa saja, selama anda tidak mengklaimnya sebagai kebenaran. Secara moral, anda dapat mempraktekkan apa saja, selama anda tidak mengklaimnya sebagai cara yang “lebih baik”. Secara religius, anda dapat menyakini apa saja, selama anda tidak melibatkan Kristus di dalamnya. Jika sebuah gagasan spiritual berasal dari timur, kekebalan kritis diberikan. Tetapi seorang jurnalis dapat memasuki sebuah gereja dan mengolok-olok segala pengajaran yang ada di dalamnya. Perlakuan berbeda diberikan kalau berhubungan dengan spiritualitas ketimuran, mereka tidak akan mengolok-olok gagasan spiritualitas tersebut. Inilah mood di akhir abad kedua puluh.”

Apologis Kristen lainnya, Charles “Chuck” Colson, menambahkan dalam bukunya yang berjudul The Faith, “Kita hidup di zaman ketika kaum Kristen serta peradaban yang dibangun dengan bantuannya sedang diserbu. Meninjau liputan pers selama beberapa tahun terakhir menjelaskan bahwa Kekristenan terhuyung-huyung akibat hantaman dan serbuan yang mungkin belum pernah dialaminya dari ateisme negatif... Kami telah memasuki era pasca-modern yang menolak ide tentang kebenaran. Kalau kebenaran tidak ada, maka klaim kekristenan bersifat menusuk hati dan bahkan fanatik terhadap orang lain. Toleransi secara keliru didefinisikan sebagai menaruh semua dalil di atas pijakan yang setara. Jutaan orang menyetujui (dan banyak orang kristen juga berada di dalam jutaan orang tersebut –penulis) doktrin semua-kepercayaan-sama-saja demi memperoleh kedudukan sosial yang lebih baik dalam budaya kami yang bebas nilai dan tidak boleh menyinggung siapa pun.”

Kedua kutipan tulisan dari dua apologis Kristen tersebut di atas memang menggambarkan situasi yang terjadi di dunia barat, Eropa dan Amerika Serikat. Tetapi saya menyadari bahwa trend tersebut sekarang sedang menjangkiti Indonesia. Atas nama kedamaian dan toleransi yang keliru, orang-orang Kristen diam saja ketika penganut agama lain menyerang doktrin-doktrin kekristenan.


Tetapi bukankah Firman Tuhan tidak perlu dibela karena Tuhan sendiri yang akan membela firmanNya?

Ya, benar bahwa Tuhan akan melaksanakan sendiri apa yang sudah difirmankanNya. Tetapi sebagai orang-orang yang telah diselamatkan oleh Yesus Kristus, kita mempunyai tanggung jawab untuk juga mewujudkan firman Tuhan itu dalam kehidupan. Saya menganalogikannya sebagai berikut. Pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah produk undang-undang dan setelah melalui berbagai proses legislasi di parlemen dan disetujui, maka UU itu berlaku bagi seluruh komponen bangsa Indonesia tanpa terkecuali. Artinya, rakyat Indonesia harus taat dan melaksanakan undang-undang tersebut. Elohim Bapa sudah menyampaikan kabar baik (Injil) melalui Yesus Kristus kepada manusia, maka bagi umat yang mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan dan Mesias, merupakan suatu tanggung jawab untuk melaksanakan kehendak Tuhan dan mengabarkannya kepada orang lain, termasuk melakukan pembelaan apabila ada serangan terhadap firman Tuhan.

Saya akan mencoba secara singkat menjelaskan apa itu Apologetika. Memang tidak mudah (karena saya pun sesungguhnya baru mempelajari hal ini), tetapi kerinduan saya untuk memuliakan Tuhan dan melihat bahwa banyak orang-orang Kristen yang awam mengenai hal ini mendorong saya untuk menuliskan tema ini. Untuk pemilihan judul dari artikel ini saya menggunakan judul yang sama dengan buku karya John M. Frame, Apologetics to the Glory of God : An Introduction (Apologetika bagi Kemuliaan Allah : Sebuah Pengantar, Penerbit Momentum-Surabaya, 2009). Tetapi dalam artikel saya memakai kata “Tuhan”. Tidak hanya itu, seluruh materi yang ada dalam artikel ini saya landaskan pada pemikiran John M. Frame dalam bukunya tersebut. Tuhan Yesus lah yang memampukan saya untuk menuliskan tema ini, jadi segala hormat, kemuliaan dan puji-pujian saya letakkan di bawah kakiNya.


Banyak orang Kristen yang masih asing dengan kata “Apologetika”. Orang Kristen lebih akrab dengan kata “Penginjilan”. Padahal sesungguhnya ada keterkaitan antara Apologetika dengan Penginjilan. Apologetika adalah bagian dari Penginjilan dan di dalam Penginjilan terdapat Apologetika.

Apakah apologetika itu? Pentingkah mempelajari apologetika?

Definisi Apologetika

Apologetika berasal dari kata Yunani, Apologia. John M. Frame mendefinisikan sebagai ilmu yang mengajar orang Kristen bagaimana memberi pertanggungan jawab tentang pengharapannya (Apologetika bagi Kemuliaan Allah : Sebuah Pengantar, Momentum-Surabaya, 2009). Dalam bukunya yang lain, Frame mendefinisikan Apologetika sebagai aplikasi Alkitab kepada mereka yang tidak percaya (The Doctrine of The Knowledge of God). Pendeta Budi Asali dalam artikelnya yang berjudul “Apologetics” mendefinisikan Apologetika sebagai ilmu yang mempelajari cara-cara pembelaan iman Kristen terhadap serangan-serangan dari luar.

Ada kesalahpahaman dalam pemikiran mengenai Apologetika. Apologetika dianggap sebagai permintaan maaf atas sesuatu hal yang salah yang kita percaya dan ajarkan. Hal ini terkait dengan perkataan “permohonan maaf” dalam bahasa Inggris, yaitu “Apology” yang memang berasal dari kata Apologia. Jadi Apologetika bukan permohonan maaf tetapi adalah pembelaan atas sesuatu yang benar yang kita percaya dan ajarkan.

Biasanya yang menjadi dasar bagi Apologetika adalah 1 Petrus 3:15-16. Di dalam ayat tersebut Rasul Petrus menasihati : “tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka.”

Pertanggungan jawab dalam ayat di atas adalah dari kata Yunani, Apologia.

Aspek – aspek dalam Apologetika

John M. Frame membedakan 3 aspek dari Apologetika, yaitu :

1.  Apologetika sebagai pembuktian : menyampaikan sebuah dasar rasional bagi iman kepercayaan atau membuktikan kebenaran Kekristenan (Yohanes 14:11; 20:24-31; 1 Korintus 15:1-11). Apologetika adalah menghadapi ketidakpercayaan dalam diri orang percaya sebagaimana dalam diri orang yang tidak percaya.

2.   Apologetika sebagai pembelaan : menjawab keberatan-keberatan dari ketidakpercayaan. Tulisan-tulisan Rasul Paulus termasuk dalam kategori ini. Tuhan Yesus pun sering menangani keberatan-keberatan ini dari para pemimpin agama Yahudi dalam Injil Yohanes.

3.   Apologetika sebagai penyerangan : menyerang kebodohan dari pikiran yang tidak percaya. Tuhan tidak hanya memanggil umatNya untuk menjawab keberatan-keberatan dari mereka yang tidak percaya, tetapi juga melanjutkannya dengan serangan terhadap kepalsuan. Rasul Paulus dengan tepat menggambarkan situasi ini : “Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Elohim...” (2 Korintus 10:5).

Apabila dilakukan dengan benar maka berapologetika akan mencakup dari ketiga aspek seperti yang tersebut di atas.


Apa hubungan Apologetika dengan Penginjilan?

Apologetika dan Penginjilan adalah satu kesatuan. Keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu menarik orang yang tidak percaya kepada Yesus Kristus. Walaupun begitu kedua hal tersebut mempunyai perspektif dan penekanan yang berbeda. Penginjilan menekankan usaha dari perubahan Ilahi dalam kehidupan manusia, sedangkan apologetika menekankan aspek rasional dari keyakinan. Pendeta Budi Asali menyingkatnya dengan kalimat “pertanggungan jawab itu harus Alkitabiah dan logis”.


Apakah seluruh orang Kristen harus menjadi Apologis?

Saya sudah menganalogikan hal ini dalam paragraf-paragraf sebelumnya. Bahwa saya sebagai warga negara Indonesia wajib menaati dan melaksanakan segala bentuk aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang telah disetujui oleh parlemen. Hal yang sama juga harus dilakukan oleh orang-orang Kristen. Mereka harus menaati dan melaksanakan segala bentuk perintah yang sudah Elohim Bapa berikan melalui Yesus Kristus, dalam hal ini termasuk melakukan pemberitaan dan pembelaan Injil Tuhan. Amanat Agung dari Tuhan Yesus menegaskan hal tersebut, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Matius 28:19-20)


Apa yang menjadi tujuan dari Apologetika?

John M. Frame menuliskan, “Bagi orang percaya, apologetika memberi pemulihan keyakinan pada iman seperti apologetika menunjukkan dasar pemikiran dari Alkitab sendiri. Dasar pemikiran itu memberi orang percaya sebuah pondasi intelektual, sebuah dasar bagi iman dan bagi pengambilan keputusan yang bijaksana dalam kehidupan. Bagi orang yang tidak percaya, Tuhan dapat memakai pemikiran apologetika untuk menyingkirkan rasionalisasi, argumentasi-argumentasi yang melaluinya permasalahan menghalangi perubahan.”

Memang hanya Tuhan yang dapat mengubah hati seseorang melalui karya Roh Kudus. Tetapi secara normal, Roh Kudus bekerja melalui firman. Roh Kudus penting, tetapi pemberita Injil dan Apologis pun penting. Tugas dari Pemberita Injil dan Apologis lah yang menyampaikan firman. Dan itu adalah tugas dari semua orang Kristen yang sudah ditebus oleh Yesus Kristus di kayu salib.

Yudas 1:3 

Saudara-saudaraku yang kekasih, sementara aku bersungguh-sungguh berusaha menulis kepada kamu tentang keselamatan kita bersama, aku merasa terdorong untuk menulis ini kepada kamu dan menasihati kamu, supaya kamu tetap berjuang untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus.

Selesai


Buku-buku terkait :

1. Apologetika bagi Kemuliaan Allah : Sebuah Pengantar, John M. Frame, Momentum-Surabaya, 2009;

2. Jesus Among Other Gods, Ravi Zacharias, Pionir Jaya, November 2009;

3. The Faith, Charles Colson, Pionir Jaya

Rabu, 11 April 2012

KEMATIAN YESUS KRISTUS ADALAH INTI DARI INJIL (Bagian Ketiga)


Mengapa kita tidak bisa menyelamatkan diri kita sendiri? Tidak cukup kah perbuatan baik dan amal saja?

Pertanyaan-pertanyaan di atas mewakili pertanyaan yang diajukan orang-orang yang menolak berita Injil.

Jawabnya adalah pesan kematian Yesus di kayu salib menusuk inti dosa manusia, yaitu kesombongan. Wow, inti dosa manusia adalah kesombongan? Ya dan saya akan menunjukkannya.

Kita kembali pada kitab Kejadian pasal 3, di mana ular sedang melancarkan rayuan mautnya terhadap si perempuan. Dalam ayat 4, si perempuan berkata bahwa kalau memakan buah tentang pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, maka akan mati. Ayat 5 ular membantah pernyataan si perempuan. Ular berkata bahwa “sekali-kali kamu tidak akan mati...” tetapi “...kamu akan menjadi seperti Elohim..”

Si perempuan termakan bujuk rayu ular. Ayat yang ke-6 menyatakan “perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian.”

Saya menekankan pada kata-kata “pohon itu menarik hati karena memberi pengertian

Si perempuan dengan sadar (“menarik hati”) memilih untuk melanggar perintah Tuhan dengan memakan buah tersebut. Ia memilih untuk keluar dari pemeliharaan Tuhan dan mengambil jalannya sendiri (“kamu akan menjadi seperti Elohim”; “...karena memberi pengertian...”).

Hal pertama yang mereka lakukan setelah melakukan pelanggaran adalah “menyemat daun ara dan membuat cawat”. Inilah hasil dari “buah pengertian” yang mereka makan. Mereka mencoba untuk menyelamatkan diri mereka dengan mengusahakannya sendiri. Bukankah hal ini sangat mirip dengan sikap yang ditunjukkan dengan orang-orang yang menolak berita Injil di setiap abad dan tempat? Bahwa mereka sanggup menyelamatkan diri mereka sendiri. Menganggap bahwa diri mereka bisa menggantikan Tuhan dan menjadi pemimpin atas diri mereka sendiri. Inilah kesombongan yang mula-mula hinggap di dalam benak malaikat-malaikat yang jatuh. Intinya tetap sama tetapi menggunakan kemasan yang berbeda. (Baca buku C.S. Lewis yang berjudul Mere Christianity untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap dari dosa kesombongan)

Jadi pemikiran mengenai bahwa manusia bisa menyelamatkan dirinya sendiri melalui perbuatan baik atau amal atau apapun bentuknya itu hanyalah untuk “menenangkan mereka dan untuk sementara waktu membantu menenangkan kegelisahan dan kekosongan di dalam diri karena mereka terpisah dari Penciptanya” (Supremasi Kristus, Ajith Fernando, Penerbit Momentum).

 “Tuhan akan mengampuni saya karena itu adalah tugasNya!” protes Heinrich Heine, kritikus kristen kenamaan.

Bagi manusia pengampunan itu memang hanya sebuah tugas sederhana, tetapi bagi Tuhan itu adalah masalah yang sangat besar (Carnegie Simpson, The Fact of Christ, 1900).

Mengapa pengampunan bagi Tuhan adalah masalah yang besar?

John Stott menjawab pertanyaan ini dengan sebuah pertanyaan dilematis.

Jadi bagaimana Tuhan menghukum dosa manusia (sebagaimana Ia adalah adil) tanpa bertentangan dengan kasihNya? Atau bagaimana Tuhan mengampuni dosa manusia (sebagaimana Ia adalah adil) tanpa berkompromi dengan keadilanNya? Bagaimana Ia harus menghadapi manusia yang jahat, namun Ia tetap menjadi Tuhan yang sejati dan penuh kasih yang suci? Bagaimana Ia dapat bertindak sekaligus menunjukkan kekudusan dan kasihNya?

Inilah masalah besar yang dihadapi Tuhan ketika berurusan dengan manusia.

Satu-satunya jalan yang dilakukan Tuhan untuk menunjukkan keadilan dan kasihNya adalah mengutus Putra TunggalNya ke dalam dunia (Yohanes 3:16) untuk mati di kayu salib.


Mengapa Yesus mati menggantikan kita? Bukankah kita harus menanggung dosa-dosa kita sendiri?

Sobat, hal pertama yang dilakukan oleh Adam dan Hawa setelah kejatuhan adalah menyemat daun ara dan membuat cawat (ini adalah perlambang segala usaha dan kerja manusia untuk dibenarkan di hadapan Tuhan). Tetapi apakah usaha itu berhasil? Tidak. Adam dan Hawa bersembunyi di balik pohon-pohon dalam taman ketika tahu bahwa Tuhan datang. Usaha yang mereka lakukan tidak berhasil, rasa bersalah tetap ada dalam nurani mereka.

Alkitab menyatakan bahwa “semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Elohim” (Roma 3:23) dan “...segala kecenderungan hatinya (manusia) selalu membuahkan kejahatan semata-mata” (Kejadian 6:5). Di hadapan Tuhan segala “..... kesalehanku seperti kain kotor” (Yesaya 64:6). Jadi tidak mungkin perbuatan baik atau usaha-usaha relijius dapat menggapai Tuhan. Memang Tuhan adalah Kasih, tetapi kasihNya bukanlah kasih yang sentimentil. KasihNya adalah kasih yang Kudus.

Tuhan lah yang akhirnya berisinisiatif menolong mereka (Adam dan Hawa). “dan TUHAN Elohim membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk istrinya itu, lalu mengenakannya pada mereka” - Kejadian 3:21. Hanya Tuhan lah yang sanggup menolong manusia dari maut.

Di kayu salib lah kematian Yesus mempertemukan keadilan (hukuman manusia ditanggungkan kepada Yesus) dan kasih Elohim (Elohim mengurbankan AnakNya yang tunggal bagi keselamatan manusia). Kematian Yesus menggenapi nubuatan pemazmur dalam Perjanjian Lama : "Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman." - Mazmur 85:11

Inilah berita utama Injil yang telah disampaikan oleh Elohim dari permulaan masa (Kejadian 3:21) melalui para nabi, Yesus Kristus yang adalah Sang Putra Elohim, para rasul dan orang-orang kudus lainnya di seluruh abad dan tempat.

Tuhan Yesus memberkati kita semua. Selesai

*NYOK


Buku-buku yang direkomendasikan untuk dibaca mengenai topik ini :
  1. Why I am A Christian, John Stott. Sudah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Pionir Jaya;
  2. Supremasi Kristus, Ajith Fernando Sudah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Momentum;
  3. Jeritan dari Salib, Erwin Lutzer Sudah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Gospel Press;
  4. Mere Christianity (Kekristenan Asali), C.S. Lewis Sudah diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Pionir Jaya;
  5. This We Believe, pada bab 2 yang berjudul "Melakukannya dengan caraku : "Apakah Aku dilahirkan untuk memberontak?" oleh J.I. Packer; dan bab 4 yang berjudul "Apakah Aku tidak cukup baik? Mengapa Yesus harus mati karena dosa-dosaku?" oleh Scott Hafemann

Minggu, 08 April 2012

KEMATIAN YESUS KRISTUS ADALAH INTI DARI INJIL (Bagian Kedua)


Kita akan membahas yang pertama.

Konsep Kekudusan saat ini dipandang sebagai hal yang ketinggalan jaman. Banyak orang mencela kata yang muncul lebih dari 600 kali dalam Alkitab. Konsep Kekudusan juga ternyata telah “disempitkan” maknanya hanya pada berfokus pada serangkaian aturan atau larangan yang sifatnya legalistik, misalnya : mengenai rokok, minuman keras, keperawanan, dll. Daftar tersebut akan semakin panjang tergantung dari komunitas-komunitas yang menjalankannya. Yang lain menganggap bahwa Kekudusan itu adalah sesuatu yang sempurna, sehingga manusia tidak mungkin menggapainya. Bagi manusia, konsep ini menjadi begitu mengecilkan hati apabila dikaitkan dengan dosa. Semua pandangan-pandangan ini menyalahartikan konsep Kudus yang sesungguhnya.

Kudus artinya adalah sifat moral yang murni. Terpisah dari dosa dan karenanya terpusat pada Tuhan (Pursuit of Holiness, Jerry Bridges, Terjemahan Indonesia, Pionir Jaya, Februari 2010). Para penulis Perjanjian Baru menjelaskan dengan gamblang Kekudusan tersebut dalam suatu perbedaan. Mereka membedakannya dengan sikap yang menuruti keinginan-keinginan jahat (1 Petrus 1:14-16). Membedakan yang kudus dengan perbuatan kejahatan dan kecemaran (Wahyu 22:11).

Sekarang kita maju dalam pembahasan mengenai Kekudusan Tuhan.

Buku klasik Jerry Bridges yang berjudul Pursuit of Holiness (sudah diterbitkan oleh Penerbit Pionir Jaya, Februari 2010) menggambarkan dengan begitu lugas mengenai kekudusan Tuhan. Saya akan menggunakan referensi dari buku tersebut untuk menggambarkan kekudusan Tuhan.

Jerry Bridges menuliskan, “...kekudusan menggambarkan kemuliaan Tuhan dan juga kemurnian serta kesempurnaan moral yang dimilikiNya. Kudus adalah salah satu atribut-atribut yang disandangnya, oleh karena itu, kekudusan adalah salah satu bagian yang sangat pokok dari keberadaan Tuhan. Kekudusan tidak dapat dipisahkan dari keberadaannya... Kekudusan Tuhan sepenuhnya terlepas dari segala yang jahat... Elohim adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan (1 Yohanes 1:5). Yohanes menyatakan bahwa Tuhan secara mutlak bebas dari kejahatan dan oleh karenanya, Ia adalah intisari dari kesempurnaan dan kemurnian moral.... Kekudusan Tuhan jua mencakup kesesuaianNya yang sempurna dengan watak ilahiNya. Sebab itu, segala pikiran dan tindakannya selalu sejalan dengan watakNya yang kudus."

Dalam Wahyu 4:8, keempat makhluk yang berada di sekeliling tahta Elohim tidak henti-hentinya berkata, “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Elohim, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang akan datang.” Dalam Yesaya 6:3, para serafim dalam penglihatan akan kemuliaan Tuhan yang dinyatakan kepada Yesaya pun mengekspresikan kekudusan Tuhan sebanyak tiga kali. Musa pun menyatakan kekudusan Tuhan, “.... siapakah seperti Engkau, mulia karena kekudusanMu...” (Keluaran 15:11).

Kekudusan adalah mahkota Tuhan. Kekudusannya adalah penyempurnaan dari semua sifat-sifatNya yang lain : Kuasanya adalah kuasa yang kudus, belas kasihNya adalah belas kasih yang kudus, kebijaksanaanNya adalah kebijaksanaan yang kudus. Kekudusannya membuat Ia layak kita puji.

Kalau kita sudah memahami betapa sakralnya Kekudusan Tuhan, maka kita baru bisa menyadari kebobrokan kita di hadapan Tuhan akibat dosa. Hal ini mengantarkan kita kepada pembahasan mengenai betapa seriusnya dampak dosa terhadap kehidupan kita dengan Tuhan.

Kejadian 1:26-27 menggambarkan proses penciptaan manusia. Hal yang luar biasa adalah bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Tuhan. Karena keistimewaannya, manusia didaulat menjadi penguasa atas seluruh dunia ciptaan Tuhan. Dan.... “Elohim melihat segala yang dijadikanNya itu, sungguh amat baik...” Kejadian 1:31.

Tetapi masalah besar kemudian timbul. Didorong oleh bujuk rayu ular (iblis), perempuan yang diciptakan Tuhan dari tulang rusuk manusia, memakan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Tidak sampai di situ, si perempuan tersebut memberikannya kepada manusia dan manusia itu memakannya (Kejadian 3). Ayat 7 pada pasal yang sama lalu menggambarkan situasi manusia setelah memakan buah itu, “Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.”

Apa yang salah dari peristiwa di atas?

Pada Kejadian 2 ayat 17, Tuhan memerintahkan kepada manusia untuk... “tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”

Apa yang sudah dilakukan manusia dan perempuan adalah jelas. Mereka melanggar perintah Tuhan. Inilah pemberontakan pertama manusia terhadap kekuasaan Tuhan dan akan dilanjutkan oleh keturunan-keturunan manusia selanjutnya. Inilah konsep dosa asal dalam kekristenan yang banyak ditentang orang-orang.

Alkitab mencatat banyak pemberontakan yang dilakukan manusia terhadap kekuasaan Tuhan. Pemberontakan yang tidak hanya dilakukan oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Tuhan, tetapi juga oleh bangsa pilihanNya, Israel. Harap jangan membayangkan bahwa pemberontakan tersebut adalah mengangkat senjata dan memerangi Tuhan secara literal. Yang saya maksud pemberontakan di sini adalah setiap tindakan manusia yang tidak selaras dengan kekudusan Tuhan.

Kemudian mengapa hanya karena satu perbuatan dosa yang dilakukan manusia pertama maka hal ini membawa penghukuman kepada seluruh umat manusia keturunan manusia pertama? Bukankah hal ini merupakan ketidakadilan nurani dari Tuhan?

Saya akan menjelaskannya dalam dua sudut pandang, secara konsep dunia dan konsep alkitab.

Untuk yang pertama saya menganalogikannya seperti ini. Ketika pemimpin suatu bangsa menyatakan perang terhadap bangsa lain, ia tidak hanya mendeklarasikannya bukan atas nama pribadinya. Ia mendeklarasikannya atas nama bangsanya, artinya seluruh komponen bangsa ikut turut di dalamnya, rakyat dari bangsa tersebut pastilah termasuk di dalamnya. Kekalahan atau kemenangan bangsa tersebut akan menentukan status dari bangsa tersebut. Apabila kalah, maka bukan hanya pemimpin saja yang kalah tapi seluruh komponen yang ada di dalam bangsa tersebut. Rakyat dari bangsa tersebut juga menyandang status kekalahan.

Lantas apa hubungan analogi di atas dengan kesalahan manusia pertama maka seluruh umat manusia juga turut mengalami penghukuman?

Hal ini akan membawa kita kepada pembahasan yang alkitabiah.

Jawabnya ada dalam Kejadian 5:3 = “Setelah Adam hidup sekitar seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan  seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya...”. Perhatikan kalimat “...menurut rupa dan gambarnya”. Adam diciptakan menurut rupa dan gambar Tuhan, tetapi setelah kejatuhan dalam dosa, keturunan Adam diperanakkan menurut rupa dan gambar Adam. Implikasinya, karena Adam berdosa, maka keturunannya berada dalam kuasa dosa.

Rasul Paulus yang menuliskan surat kepada jemaat di Roma menjelaskan dengan baik keadaan berdosa manusia seperti tersebut di atas.

Roma 5:12 “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.”

Adilkah Tuhan  menghukum semua manusia hanya karena ketidaktaatan satu orang saja?

Warren Wiersbe menjawab dengan baik hal ini. Warren menyatakan bahwa tentu saja hal ini bukan saja adil, tetapi juga bijaksana dan penuh kemurahan. Jika Tuhan menguji tiap-tiap orang secara perseorangan , hasilnya akan tetap sama : ketidaktaatan! (Be Right, Warren Wiersbe, SP Publication, Inc, 1977).

Saya kira kita sudah bisa mendapatkan gambaran terang dari Kekudusan Tuhan dan keberdosaan manusia. Kekudusan Tuhan adalah bagian dari Tuhan yang tidak dapat dipisahkan. Kekudusan menyatakan kemurnian, oleh karenanya Tuhan tidak tercemar oleh kejahatan. Ia adalah intisari dari kesempurnaan moral. Manusia memang diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Tuhan, tetapi akibat ketidaktaatannya, citra diri manusia rusak atau berdosa. Dampaknya sangat jelas, Tuhan tidak bisa bersatu dengan keadaan yang berdosa. Hubungan manusia dengan Tuhan rusak dan terputus. 

Pembahasan selanjutnya adalah : Apakah manusia dapat menyelamatkan dirinya sendiri?


*NYOK

Sabtu, 07 April 2012

KEMATIAN YESUS KRISTUS ADALAH INTI DARI INJIL (Bagian Pertama)


Di dalam kisah tentang para pemimpin spiritualitas besar terdapat beberapa kesamaan di akhir kehidupan para pemimpin tersebut. Para murid atau pengikut pemimpin-pemimpin spiritualitas akan meratapi kematian pemimpin mereka tersebut. Apabila para murid atau pengikut membukukan kisah hidup pemimpin mereka, fokusnya adalah pada teladan dan ajaran dari sang pemimpin. Jarang ada yang menceritakan dengan detail kematian sang pemimpin tersebut.

Hal yang bertolak belakang kita dapati pada para penulis Injil dan murid-murid Yesus. Mereka memberikan penekanan yang luar biasa kepada kematian Yesus. Di dalam bukunya yang berjudul Why I Am A Christian (diterjemahkan dan diterbitkan oleh Pionir Jaya, cet ke-4, Februari 2010), teolog John Stott menyatakan, “.... ketika Injil ditulis, keempat penulis Injil mencurahkan sebagian besar pasal untuk minggu terakhir kehidupan Yesus di dunia. Injil Lukas seperempatnya, Matius dan Markus sekitar sepertiganya, dan Yohanes sebanyak setengahnya.”

Para rasul pun tidak ketinggalan. Petrus menyatakan, ”Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati di terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilurNya kamu telah sembuh.” (1 Petrus 2:24)

Paulus menyatakan, “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib(Filipi 2:8).

Yohanes menyatakan, “... yang telah mengutus anakNya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita.” (1 Yohanes 4:10).

Tetapi apakah semua itu hanyalah argumen atau interpretasi para murid tentang misi Yesus di dunia? Tidak. Yesus sendiri berulang kali memberitahukan penderitaan dan kematianNya kepada para murid.

Matius 16:21 = “Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-muridNya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem... lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.”

Markus 9:31 = “Yesus berkata kepada mereka : Anak Manusia akan diserahkan... dan mereka akan membunuh Dia...”

Lukas 18:33 = “dan mereka menyesah dan membunuh Dia...”


Pertanyaannya adalah mengapa Yesus mati?


Beberapa ahli menyatakan bahwa Yesus mati karena pengajaranNya sangat revolusioner sehingga mengganggu kepentingan pihak lain, dalam hal ini penguasa setempat. Ada yang menyatakan bahwa Yesus mati karena hasil konspirasi pemimpin-pemimpin agama Yahudi dengan otoritas Romawi. Singkat kata, Yesus mati sebagai martir atas sikap-sikapnya yang bertentangan dengan kepentingan penguasa.

Tetapi apakah hal itu benar? Tidak. Mereka mengabaikan fakta yang jelas tertulis dalam Alkitab. Yesus dengan sukarela mendatangi salibNya (baca = kematianNya). Yohanes 10:11 menyatakan, “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.” Lebih lanjut dalam ayat ke - 17 dan 18, “... oleh karena Aku memberikan nyawaKu... Tidak seorang pun mengambilnya dari padaKu, melainkan Aku memberikannya menurut kehendakKu sendiri... dan berkuasa mengambilnya kembali.”


Pertanyaan lebih lanjut adalah mengapa Yesus dengan sukarela mendatangi kematianNya? Mengapa Ia menyerahkan nyawaNya untuk kita?


Untuk memenuhi tuntutan keadilan Elohim dan sekaligus menyatakan kasihNya kepada manusia.

Tetapi ada hal yang sangat bertolak belakang dari pernyataan di atas. Keadilan Tuhan menuntut penghukuman akan dosa-dosa manusia. Hal ini akan membuat Tuhan tidak berbelas kasih kepada umatNya. Padahal salah satu atribut kebesaran Tuhan adalah Kasih. Begitu juga kalau Tuhan mengampuni manusia yang berdosa tanpa ada penghukuman, kasihNya berarti adalah kasih yang murahan. Bahkan hukum dunia saja tidak akan melepaskan begitu saja orang yang melakukan pelanggaran hukum. Keadilan dan Kasih adalah atribut Elohim, artinya Ia tidak dapat berkontradiksi dengan atributnya tersebut. Elohim tidak bisa mengabaikan salah satu di antara keduanya. Keadilan dan Kasih akan selalu berjalan beriringan dalam setiap keputusan Tuhan.

Kematian Yesus di kayu salib-lah yang membuka dead-lock dari pernyataan di atas

Bagaimana hal itu dapat terjadi?

Sebelum kita sampai pada jawaban atas pertanyaan di atas, kita melihat dulu apa pandangan dunia tentang kematian Yesus.

Sepanjang segala abad, doktrin kematian Yesus mendapatkan pertentangan yang sangat keras dari banyak orang dan bahkan sistem agama tertentu. Heinrich Heine, kritikus kristen kenamaan, menyatakan dengan protes yang tegas bahwa : “Tuhan akan mengampuni saya karena itu adalah tugasNya!”

Hans Joachim Schoeps, penulis Yahudi, menolak berita salib Yesus : “Ini (berita Salib) merupakan suatu butir kepercayaan yang mustahil, yang mengurangi kedaulatan Tuhan dan keberadaanNya yang absolut...” (dikutip dalam Supremasi Kristus, Ajith Fernando, Pen. Momentum, cet ke-2, 2008. Artikel asli ada dalam The Jewish Christian Argument, Hans Joachim Schoeps, 1965).

Quran pun menolak kematian Yesus. Surah 4:156 (An Nisaa’) menyatakan : “dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, Isa (Yesus) putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan 'Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.”

Bahkan orang-orang dari kalangan Kristen sendiri pun menolak kematian Yesus. Rudolf Bultmann, menyatakan, “Bagaimana bisa kesalahan seseorang ditebus oleh kematian seorang lain yang tidak berdosa? Ini adalah suatu mitologi yang primitif....” (dikutip dalam buku Ajith Fernando, Supremasi Kristus, Pen. Momentum, cet ke-2, 2008. Artikel asli ada dalam “The New Testament and Mythology”)


Jadi apa jawaban kita terhadap berbagai pandangan tersebut?


Ada dua jawaban :

Pertama, kita tidak benar-benar mempertimbangkan Kekudusan Tuhan.

Kedua, kita tidak memperhitungkan betapa seriusnya dosa itu (“Why God Became Man”, Anselmus, Uskup Agung Canterbury abad ke-11)

Saya akan membahas kedua jawaban itu dalam artikel berikutnya....

*NYOK