Rabu, 22 Agustus 2012

MENJAWAB TUDUHAN (BAGIAN DELAPAN)

APAKAH KEEMPAT INJIL DAPAT DIPERCAYA? (Bagian Kedua)

Tuduhan :

“Kita hanya mengetahui sangat sedikit tentang Yesus. Laporan panjang pertama tentang kehidupanNya adalah Injil Santo Markus, yang tidak dituliskan sampai sekitar tahun 70 M, kira-kira empat puluh tahun setelah kematianNya. Pada saat itu, fakta-fakta sejarah telah diselaputi elemen-elemen dongeng yang mengekspresikan makna yang telah Yesus berikan kepada para pengikutNya. Makna inilah yang terutama disampaikan oleh Santo Markus lebih daripada suatu pelukisan terus terang yang dapat dipercaya.” Karen Armstrong A History of God.

Jawab :

Tuduhan di atas hanyalah satu dari sekian banyak tuduhan yang dilancarkan oleh pihak yang skeptik mengenai otoritas Injil. Dengan memakai jubah risalah akademik, mereka menjatuhkan vonis bahwa Injil hanyalah produk konspirasi dari para murid untuk mempromosikan suatu agama baru. Tuduhan yang saya anggap sangat tendensius tetapi serampangan. Ironisnya banyak orang yang percaya begitu saja, termasuk beberapa orang-orang Kristen yang akhirnya meninggalkan iman percaya mereka.

Tetapi apakah tuduhan tersebut benar adanya?

Telah disepakati oleh para sarjana Alkitab, baik yang konservatif maupun liberal, bahwa penanggalan standar bagi penulisan Injil adalah Injil Markus pada tahun 70 M, Injil Matius dan Lukas pada tahun 80 M dan Injil Yohanes pada tahun 90 M.

Apa hubungannya dengan tuduhan di atas?

Penulisan Injil-injil tersebut masih dalam masa kehidupan di mana masih banyak saksi mata kehidupan Yesus, baik yang langsung maupun tidak langsung, termasuk para saksi mata yang menentang yang akan berperan sebagai pengoreksi jika ajaran-ajaran yang salah tentang Yesus disebarluaskan, dalam hal ini adalah penulisan Injil-injil.


Tuduhan : Tapi mengapa harus menunggu sampai sekian puluh tahun untuk menuliskan Injil?

Jawab :

Para pemikir skeptis merasa bahwa jeda puluhan tahun sebelum penulisan Injil-injil adalah suatu hal yang mencurigakan. Earl Doherty mengklaim, “Bila orang melihat di balik tabir kitab-kitab Injil, mosaik Yesus dari Nasaret cepat sekali pecah menjadi keping-keping komponen dan pendahulu-pendahulu yang tak dapat dikenal.” (The Jesus Puzzle: Did Christianity Begin with a Mythical Christ)

Para pemikir skeptis merasa bahwa para murid menggunakan masa tunggu itu untuk mempersiapkan sebuah konspirasi agama. Tuduhan yang dilancarkan oleh para skeptis diajukan dalam sudut pandang yang keliru. “Mungkin lebih baik bertanya seperti ini, Mengapa Injil-injil ini akhirnya ditulis?” (Reinventing Jesus, Perkantas, Divisi Literatur)

Konsep “masa tunggu” mengimplikasikan bahwa sedari awal para murid sudah merencanakan sejak awal penulisan Injil-injil. Tetapi pada kenyataannya bukanlah seperti itu.

Buku Reinventing Jesus menjelaskan hal ini dengan baik, “Yang utama dalam motivasi para rasul adalah pada awalnya ialah pewartaan Injil secara lisan. Mereka ingin menyebarkan Injil itu secepat mungkin.”

Hal ini sesuai dengan perintah yang Tuhan Yesus berikan sesaat sebelum kenaikanNya ke surga.

Matius 28:20 = “... dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu...”

Markus 16 : 15 = “Lalu Ia (Yesus) berkata kepada mereka : “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk...”

Lukas 24 : 47 = “dan lagi : dalam namaNya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem.”

Kemudian dalam Kisah Para rasul disebutkan berulang kali bahwa Injil tersebar luas dan jemaat yang masih muda itu bertumbuh dengan pesat. Bayangkan saja, hari pertama Pentakosta, khotbah Petrus menobatkan 3000 orang dalam satu hari saja (Kisah Para Rasul 2 : 41), tidak sampai di situ, khotbah Petrus di Serambi Salomo juga menambahkan kira-kira 5000 orang laki-laki dalam keluarga Kristus (Kisah 4 : 4). Lebih lanjut dikisahkan bahwa setelah terjadi penganiayaan di Yerusalem, banyak orang yang percaya lari ke berbagai daerah lainnya di luar Yerusalem. Di perantauan, orang-orang percaya ini memberitakan kabar baik Injil sehingga banyak orang lain yang akhirnya bertobat.

Dengan kata lain, para rasul dan pemimpin gereja mula-mula beserta para jemaat sangat sibuk dengan pemberitaan Injil secara lisan. Berita tentang Kabar Baik Yesus tersebut melaju dengan kecepatan mengagumkan sampai ke seluruh wilayah kekuasaan Romawi hanya dalam beberapa tahun pertama sejak kelahiran gereja perdana. Ini adalah bukti keberhasilan pewartaan Injil secara lisan.

Tetapi ada satu pendapat dari seorang ahli Perjanjian Baru yang layak saya tuliskan dalam artikel kali ini. Ahli tersebut adalah Dr. Craig Blomberg. Saya perlu menampilkan terlebih dahulu rekam jejaknya dalam dunia penelitian Perjanjian Baru agar anda dapat menilai bagaimana pendapat dari Dr. Craig sangat berharga dan tentunya dapat dihandalkan.

Saat ini Dr. Craig Blomberg dianggap sebagai salah satu pakar terkemuka dalam penelitian naskah-naskah Injil. Ia memperoleh gelar Doktornya dari Aberdeen University di Skotlandia. Ia juga ikut serta sebagai rekanan periset senior di Tyndale House di Cambridge University di Inggris, di mana ia adalah bagian dari sarjana internasional elit yang menghasilkan serangkaian karya tentang Yesus yang disambut dengan baik. Ia juga menjadi seorang profesor dalam Perjanjian Baru di Denver Seminary yang prestisius.

Karya-karya tulisnya meliputi : Jesus & The Gospels; Interpreting the Parables; How Wide the Divide? Ia membantu mengedit jilid ke-6 dari Gospel Perspectives, yang menguraikan mukjizat-mukjizat Yesus secara panjang lebar. Ia juga menjadi rekanan penulis Introduction to Biblical Interpretation. Dr. Craig juga memberikan kontribusi beberapa bab tentang kehistorisan keempat Injil di dalam buku Reasonable Faith dan buku pemenang penghargaan Jesus Under Fire. Bukunya yang mendapat respon luar biasa dan mengukuhkannya sebagai ahli dalam studi keempat Injil adalah The Historical Reliability of The Gospels.

Saya mengutip pendapat Dr. Craig dalam buku karya Lee Strobel, seorang jurnalis hukum ateis yang akhirnya menjadi Kristen, yang berjudul The Case for Christ. Buku ini adalah hasil riset Lee, yang ketika itu masih ateis, dengan mewancarai banyak sarjana yang ahli di bidangnya masing-masing dan meneliti ratusan literatur untuk menemukan kebenaran Kristus, di mana Dr. Craig adalah salah satu narasumber bagi bukunya tersebut. Buku yang akhirnya memenangkan penghargaan prestisius sekaligus membawanya kepada pertobatan kepada Kristus.

Lee Strobel (LS) : “Anda mengindikasikan bahwa anda percaya keempat Injil ditulis lebih awal daripada tanggal-tanggal yang anda sebutkan?”

Dr. Craig Blomberg (CB) : “Ya lebih awal. Dan kita dapat menguatkannya dengan memperhatikan kitab Kisah Para Rasul, yang ditulis oleh Lukas. Kisah Para Rasul rupanya belum selesai ditulis-Paulus adalah tokoh sentral dalam kitab itu, dan ia berada dalam tahanan rumah di Roma. Dengan laporan itu, kitab tersebut secara mendadak terputus. Apa yang terjadi pada Paulus? Kita tidak menemukannya dalam Kisah Para Rasul, mungkin karena kitab itu ditulis sebelum Paulus dihukum mati.”

Dengan bersemangat CB melanjutkan :

CB : “Itu berarti Kisah Para Rasul tidak dapat diberi tanggal lebih lama daripada tahun 62 M (Disepakati oleh sejarawan, Paulus mati syahid dengan dipenggal di Roma pada tahun 62 M). Dengan menetapkan demikian, kita kemudian dapat bergerak mundur dari situ. Karena Kisah Para Rasul merupakan bagian kedua dari sebuah karya yang terdiri dari dua bagian, kita tahu bagian yang pertama - Injil Lukas - pasti telah ditulis lebih awal dari itu. Dan karena Lukas memasukkan bagian-bagian dari Injil Markus, itu berarti Markus ditulis bahkan lebih awal lagi.”

CB : “Jika anda memberikan waktu mungkin satu tahun bagi tiap-tiap kitab tersebut, anda akan mendapat hitungan akhir bahwa Injil Markus ditulis tidak lebih lama dari sekitar tahun 60 M, mungkin bahkan pada akhir tahun 50an M. Jika Yesus dihukum mati tahun 30 atau 33 M, kita memberikan suatu celah maksimum sebesar kurang lebih tigapuluh tahun.”

Pendapat Dr. Craig tersebut setidaknya membawa dua implikasi :

Pertama, pendapat tersebut membawa sebuah petunjuk baru mengenai penanggalan penulisan keempat Injil. Pendapat tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja karena pendapat ini keluar dari seorang ahli mengenai studi keempat Injil yang diakui oleh dunia penelitian Alkitab, khususnya Perjanjian Baru.

Kedua, pendapat ini sekaligus meruntuhkan teori spekulatif yang serampangan yang diajukan oleh pemikir skeptik, yang ironisnya kebanyakan diragukan rekam jejak akademiknya dalam studi Alkitab, dalam artikel kali ini diwakili oleh Karen Armstrong dan Earl Doherty. Teori spekulatif tersebut adalah bahwa keempat Injil sudah dilumuri oleh elemen-elemen dongeng atau fantasi dari para penulisnya.

Mengenai hal yang kedua tersebut, saya kembali mengutip pendapat Dr. Craig dalam The Case for Christ :

CB : “2 biografi Alexander Agung yang paling awal ditulis oleh Arrian dan Plutarch lebih dari empat ratus tahun setelah kematian Alexander (Alexander meninggal tahun 332 SM), walaupun demikian, para sejarawan menganggap bahwa secara umum kedua biografi tersebut patut dipercaya. Ya, materi legenda tentang Alexander berkembang seiring berlalunya waktu, namun itu hanya dalam abad-abad setelah kedua penulis ini.”

CB : “Dengan kata lain, kisah Alexander terpelihara cukup utuh selama lima ratus tahun pertama; materi legenda mulai muncul selama lima ratus tahun sesudahnya. Jadi entah apakah keempat Injil dituliskan enam puluh atau tiga puluh tahun setelah kehidupan Yesus di dunia, jumlah waktunya dapat diabaikan menurut perbandingan ini. Itu bukan hampir merupakan suatu isu.”

Artinya, secara intuitif terlihat jelas bahwa semakin singkat celah antara sebuah peristiwa dan saat ketika dicatat dalam tulisan, semakin berkurangnya kemungkinan, bahwa tulisan itu akan menjadi legenda atau ingatan-ingatan yang salah.

Akhir kata, inilah “kemunafikan” intelektual yang ditunjukkan oleh pemikir-pemikir skeptik. Ketika berbicara mengenai risalah-risalah kuno non Kristen, mereka akan bersikap obyektif dan tidak akan meneliti lebih jauh apakah risalah-risalah tersebut benar adanya. Tetapi ketika dihadapkan pada risalah-risalah kekristenan, khususnya mengenai Perjanjian Baru, maka mereka akan bersikap menuduh, mencurigai dan menghakimi.

Selasa, 21 Agustus 2012

MENJAWAB TUDUHAN (BAGIAN TUJUH)


APAKAH KEEMPAT INJIL DAPAT DIPERCAYA? (Bagian Pertama)

Lee Strobel dalam bukunya yang memperoleh penghargaan The Gold Medallion Book Award, The Case For Christ (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Pembuktian Atas Kebenaran Kristus : Investigasi Pribadi Seorang Jurnalis atas Bukti tentang Yesus”, Gospel Press) menulis, “Ya, kesaksian mata dapat menawan dan meyakinkan. Saat seorang saksi mata telah memiliki cukup kesempatan untuk mengamati suatu tindakan kriminal, saat tidak terdapat prasangka atau motif-motif tersembunyi, saat si saksi berlaku jujur dan adil, tindakan klimaks menunjuk kepada seorang terdakwa dalam sebuah ruang sidang sudah cukup memberi orang itu hukuman penjara atau yang lebih buruk dari itu.”

Kesaksian sama pentingnya dalam menginvestigasi perkara-perkara historis, bahkan dalam sebuah permasalahan yang populer dari dulu hingga sekarang, apakah Yesus adalah Anak Allah sejati?

Ketika memikirkan kehidupan Yesus, maka secara otomatis kita akan melihat kepada Keempat Injil (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes). Keempat Injil dapat dikatakan sebagai kitab biografi kehidupan Yesus. Tetapi apakah keempat Injil adalah benar-benar menulis dengan tepat dan benar kehidupan Yesus dan seberapa baik laporan-laporan-laporan ini (keempat Injil) akan bertahan menghadapi penelitian cermat para skeptis. Dengan kata lain apakah keempat Injil dapat dihandalkan sebagai sebuah sumber yang historis tentang kehidupan Yesus.


Tuduhan : Pada awalnya Keempat Injil adalah kitab yang anonim (tidak berjudul/bernama). Judul-judul (Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas dan Injil Yohanes) ditambahkan dalam suatu masa kemudian. Jadi bagaimana kita bisa percaya bahwa nama yang melekat pada kitab-kitab tersebut adalah penulis sesungguhnya dari kitab-kitab tersebut?


Jawab :

Memang benar bahwa Keempat Injil pada mulanya adalah kitab yang anonim. Tetapi kesaksian yang cukup beragam dari gereja mula-mula (para Bapa gereja) menyatakan bahwa Matius atau Lewi, mantan pemungut cukai dan salah satu dari 12 murid Yesus, adalah penulis Injil Matius; Yohanes Markus yang adalah rekan sekerja Petrus adalah penulis Injil Markus; Lukas, seorang tabib dan rekan yang dikasihi Paulus, menulis Injil Lukas dan Kisah Para Rasul.

Papias, seorang Uskup Hieropolis, adalah saksi paling awal mengenai siapa penulis Injil Markus. Papias hidup sekitar tahun 60 yang artinya ia mempelajari tentang akar iman kepercayaannya dari generasi/jemaat Kristen mula-mula. Oleh karena itu kesaksiannya tentulah sangat berbobot.

Sang Penatua biasanya berkata begini, ”Markus yang telah menjadi penerjemah bagi Petrus menuliskan dengan tepat semua yang diingatnya, walaupun urutannya tidak persis, tentang hal-hal yang seperti yang dikatakan atau dilakukan Kristus. Sebab, ia tidak mendengar langsung dari Tuhan dan mengikut Dia. Tetapi, sesudah itu, ia mengikut Petrus yang mengadaptasi ajaran-ajaranNya sebagaimana perlu, namun tidak bermaksud menyampaikan ucapan-ucapanNya secara berurutan. Oleh sebab itu, Markus tidak membuat kesalahan apapun dalam menuliskan beberapa hal seperti yang diingatnya, karena ia benar-benar berusaha untuk tidak menghilangkan apa pun yang didengarnya atau membuat pernyataan palsu dalam semuanya itu.” (Papias, The Fragment of Papias)


Bagaimana dengan Matius, Lukas, dan Yohanes?

Irenaeus, salah seorang Bapa Gereja, memperkuat penamaan Injil-injil pada masa-masa sebelumnya. Ia menulis, “Matius menerbitkan Injilnya sendiri di antara kalangan orang-orang Yahudi, selagi Petrus dan Paulus memberitakan Injil di Roma dan mendirikan gereja di sana. Setelah kepergian mereka, Markus, murid dan penafsir Petrus, memberikan kepada kami tulisan berisi kotbah-kotbah Petrus. Lukas, pengikut Paulus, mengumpulkan Injil yang diberitakan gurunya dalam sebuah buku. Kemudian Yohanes, murid Tuhan, yang juga bersandar di dadanya, menuliskan sendiri Injilnya sementara ia tinggal di Efesus di Asia.” (Irenaeus, Adversus haereses)


Tuduhan : Bisa saja bahwa para Bapa gereja memiliki suatu motivasi untuk berbohong dengan menyatakan bahwa orang-orang inilah yang menulis Injil-injil, padahal sebenarnya tidak.


Jawab :

Sangat tidak mungkin! Para Bapa gereja adalah figur-figur yang diakui dengan baik integritas mereka dalam kehidupan. Lagipula nama-nama yang dilekatkan dalam Injil-injil tersebut adalah karakter-karakter yang tidak layak untuk penamaan kitab-kitab tersebut.


Mengapa?

Markus dan Lukas bukan bagian dari 12 murid Yesus, bahkan Lukas bukanlah Yahudi, ia adalah seorang Yunani. Matius memang adalah bagian dari 12 murid Yesus, tetapi latar belakangnya sebagai mantan pemungut cukai yang dibenci, bukanlah karakter yang tepat untuk dijadikan penulis Injil Matius. Para Bapa gereja bisa saja memilih nama-nama yang lebih kredibel, misalnya Petrus, Yakobus, Maria atau Filipus. Tetapi nyatanya mereka tidak melakukan itu.

Ironisnya beberapa pihak yang mengaku sebagai ahli Perjanjian Baru malah memilih kitab-kitab yang isinya penuh khayalan, bertentangan dengan ortodoksi Kristen dan ditulis jauh setelah kematian Yesus serta “memaksakan” opini bahwa kitab-kitab tersebut lebih layak dan kredibel dimasukkan dalam kanon Perjanjian Baru menggantikan Keempat Injil. Dan tebak apakah nama dari kitab-kitab tersebut? Injil Yudas, Injil Thomas, Injil Petrus, Injil Maria Magdalena.

Minggu, 29 Juli 2012

Menjawab Tuduhan (Bagian Enam)

KONSILI NICEA (Bagian Kedua)


HOMOOUSIOS ATAU HOMOI-OUSIOS

Setelah para uskup mengetahui dan menolak apa yang menjadi teologi Arius, mereka sepakat untuk membuat sebuah pernyataan resmi yang akan disusun dan ditandatangani oleh semua uskup yang hadir. Hosius, penasihat teologi Konstantinus, diangkat sebagai juru tulis dokumen yang baru. Tetapi dalam pembuatan pernyataan tersebut, para uskup terbentur oleh masalah istilah. Kelompok pendukung Arius menginginkan agar hanya dipakai istilah-istilah yang digunakan dalam Alkitab, sedangkan para uskup penentang Arius menegaskan perlu adanya bahasa di luar Alkitab untuk menguraikan makna kata-kata dalam Alkitab.

Konstantinus yang melihat perdebatan yang semakin meruncing memanggil Hosius untuk dimintai pendapatnya. Hosius segera menyampaikan pendapatnya dan Konstantinus menilai apa yang disampaikan oleh Hosius dapat menjadi solusi bagi kedua belah pihak yang berbeda pendapat. Konstantinus mengusulkan bahwa Sang Anak memiliki “hakikat yang sama” (Yunani: homoousios) seperti Bapa. Istilah ini dianggap Konstantinus akan menunjukkan Yesus sepenuhnya bersifat ilahi (sehingga dapat diterima oleh pihak yang menentang Arius) tanpa menyiratkan terlalu banyak penafsiran yang lain (sehingga melenyapkan kekhawatiran pendukung Arian). Sebagian besar uskup kelihatan bersedia menerima rumusan ini. Tetapi, pendukung Arius yang berhaluan keras menilai istilah itu sarat makna. Dalam pandangan mereka, istilah homoousios mengakui kesetaraan Yesus dengan Bapa namun tidak menjelaskan secara memadai bagaimana kesetaraan itu dapat selaras dengan kepercayaan kepada Tuhan yang Esa.

Tanpa mempedulikan penentangan keras dari segelintir orang, para uskup yang menyetujui rumusan homoousios maju terus dengan dukungan mayoritas dan menyusun suatu pengakuan iman yang menyatakan Kristus sehakikat dengan Bapa. Pengakuan iman tersebut adalah :

Aku percaya akan satu Elohim, Bapa yang Maha Kuasa, Pencipta langit dan bumi dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan.

Dan akan Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang Tunggal, Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad. Allah dari Allah, terang dari terang. Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakekat (homoousios) dengan Bapa, segala sesuatu dijadikan olehnya.Ia turun dari sorga untuk kita manusia, dan untuk keselamatan kita, dan Ia menjadi daging oleh Roh Kudus dari perawan Maria dan menjadi manusia.Ia pun disalibkan untuk kita waktu Pontius Pilatus, Ia wafat kesengsaraan dan dimakamkan. Pada hari ketiga Ia bangkit, menurut Kitab Suci. Ia naik ke sorga, duduk di sisi kanan Bapa. Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati; Kerajaan-Nya takkan berakhir.

Aku percaya akan Roh Kudus, Tuhan yang menghidupkan; yang berasal dari Bapa dan Putra, yang serta Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan. Ia bersabda dengan perantaraan para nabi. Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, universal dan apostolik. Aku mengakui satu pembaptisan akan penghapusan dosa. Aku menantikan kebangkitan orang mati, dan kehidupan di dunia yang akan datang. Amin.”


Semua uskup menandatangani pengakuan itu, kecuali Theonas dari Marmarika dan Sekundus dari Ptolemais. Tetapi pesan keseluruhan sangat jelas : Paham Arianisme tidak sesuai dengan iman Kristen secara historis dan apa yang dipraktikkan dalam gereja.

Dalam perkembangan selanjutnya, ada beberapa orang yang kurang setuju dengan rumusan homoousios. Mereka khawatir, rumusan yang dimaksud untuk mengatakan Bapa dan Anak memiliki hakikat yang sama dapat dipelintir sehingga Bapa dan Anak dimengerti sebagai pribadi yang sama. Kelompok ini mengusulkan, jika rumusan homoousios diubah sedikit, selesailah persoalannya.

Dalam bahasa Yunani, perbedaan kata “sama” (homo) dan “serupa” (homoi) hanya terletak pada huruf “i” (atau iota). Dengan mengubah homo-ousios menjadi homoi-ousios, sebagian orang yang anti Arius mengatakan Anak mempunyai “hakikat yang serupa” dengan Bapa. Dengan kata lain, mereka menegaskan keilahian Anak namun melihat Dia sebagai pribadi yang berbeda dengan Bapa. Tetapi kalangan anti Arius lainnya menolak rumusan yang lebih longgar ini. Mereka berpendapat rumusan homoi-ousios tidak sepenuhnya menggambarkan kesetaraan Kristus yang bersifat hakiki dengan Allah. Lagipula, Arius dan para pendukungnya sangat senang menggunakan istilah yang lebih longgar ini untuk Kristus yang diciptakan. Oleh karena itu, banyak kalangan anti Arius tetap berpegang teguh dengan istilah homoousios. Athanasius adalah salah satu orang yang tetap berpegang pada pengakuan iman Nicea. Ia tidak mau mengalah sedikit pun - bahkan satu iota pun.

Dalam tulisan berikutnya kita akan berkenalan dengan tokoh Athanasius tersebut yang luar biasa teguhnya memegang keyakinan iman Nicea.


Bacaan lebih lanjut mengenai Konsili Nicea :

1. Philip Schaff, History of The Christian Church (New York: Scribners, 1882)

2. Roger E. Colson, The Story of Christian Theology (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1999)

Sabtu, 21 Juli 2012

Menjawab Tuduhan (Bagian Lima)


KONSILI NICEA (Bagian Pertama)

Beberapa tahun belakangan ini muncul klaim populer yang menyatakan bahwa keilahian Yesus diciptakan di Nicea. Beberapa apologet muslim menggunakan klaim ini untuk menyerang keyakinan vital umat Kristen ini. Mereka menganggap bahwa sebelum Konsili Nicea, Yesus hanyalah nabi biasa. Kaisar Romawi, Konstantinus lah yang menjadi aktor intelektual lahirnya keyakinan bahwa Yesus adalah Tuhan melalui sebuah sidang, yakni Konsili Nicea.

Ironisnya, klaim yang sama ini akan dianggap ketinggalan zaman oleh umat Kristen abad ke-4.

Dalam tulisan kali ini, saya mencoba untuk menuliskan apa yang menjadi masalah sesungguhnya di Nicea.

Tuduhan : “Dengan mendukung Yesus secara resmi sebagai Anak Allah, Konstantinus mengubah Yesus menjadi Yang Ilahi yang berada di luar lingkup dunia manusia, suatu sosok yang kuasanya tak dapat digugat.” ~ Dan Brown, The Da Vinci Code, hal. 233.

Jawab :

Titik mula perjalanan menuju Nicea adalah di sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah di bagian barat laut Mesir, Alexandria. Kota ini dalam sejarah kekristenan awal memiliki peran penting. Beberapa teolog besar Kristen berasal dari kota metropolitan ini.

Pada masa Uskup Alexander, seorang teolog dan pemimpin gereja yang disegani, terjadi perdebatan serius dalam sebuah sesi seminar bagi para pejabat gereja senior. Arius, seorang imam dari sebuah wilayah gereja di Alexandria, berdebat dengan Alexander tentang bagaimana tepatnya melukiskan status Yesus yang ilahi. Alexander menegaskan, Yesus mempunyai semua sifat ilahi yang dimiliki Sang Bapa, termasuk kekekalan. Arius percaya, Yesus bersifat ilahi, karena Dia serupa dengan Bapa. Ia sudah ada sebelum penciptaan dunia dan turut berkarya dalam penciptaan. Tetapi Yesus tidak bersifat kekal. Ia hanyalah makhluk yang diciptakan Bapa dari ex nihilo (dari ketiadaan) sejak kekal. Sifat ilahi Yesus dengan Bapa tidak identik. Dengan kata lain, Yesus memiliki keilahian yang lebih rendah dari Bapa. Dalam perdebatan tersebut, Arius kalah telak dengan pembelaan Alexander di dalam seminar tersebut.

Alexander tidak tinggal diam. Ia dengan gigih mempertahankan bahwa keilahian bersifat mutlak. Alexander menganalogikannya dengan kehamilan. Seorang perempuan tidak mungkin hamil setengah-setengah. Seekor kangguru akan melahirkan anak kangguru, manusia akan melahirkan anak manusia, dan akhirnya sesuatu yang ilahi akan melahirkan yang ilahi. Yesus seharusnya memiliki seluruh sifat keilahian, atau pilihannya Dia sama sekali bukan ilahi.

Tetapi tampaknya Arius tidak mau mengalah begitu saja. Ia tetap mengajarkan pemikirannya tersebut. Bahkan Arius menyalahkan Alexander atas tumbuh dan berkembangnya bidat Sabelianisme (kecenderungan untuk menganggap Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah manifestasi yang berbeda-beda dari Tuhan). Alexander sebenarnya adalah pemimpin yang lembut dan sangat menghindari konflik, tetapi ia sadar ia tidak dapat diam saja ketika persoalannya sudah menyangkut keilahian Yesus. Keyakinan ini adalah batu penjuru dalam bangunan kekristenan. Hal ini juga menyangkut kebenaran keselamatan manusia. Oleh karena itu pada tahun 318, Alexander mengumpulkan sekitar 100 uskup di Alexandria untuk membicarakan hal itu, lalu secara resmi memecat Arius dari jabatan gerejawinya.

Arius sangat marah mendengar pemecatan dirinya dari jabatan yang disandangnya. Ia pindah ke Nikomedia (wilayah Turki modern) dan menghimpun para pendukungnya (di kemudian hari, para pendukungnya tersebut dikenal dengan kaum Arian dan pandangan teologisnya mengenai keilahian Yesus disebut Arianisme). Salah satu pendukung terkuatnya adalah Eusebius dari Nikomedia, yang mempunyai hubungan keluarga dengan kaisar Konstantinus melalui pernikahan. Arius dan Eusebius melancarkan suatu kampanye tertulis kepada para uskup yang tidak ikut dalam sidang pemecatan Arius. Hal ini cukup berhasil sehingga menyulut gerakan yang berdampak eksplosif. Tiap-tiap hari selalu ada bentrokan fisik antara pendukung Alexander dengan Arius di jalanan.

Karena terjadi di salah satu kota besar di wilayah kekuasaan Romawi, kerusuhan ini segera terdengar oleh kaisar Konstantinus. Patut diingat, bahwa ketika itu agama Kristen telah disahkan oleh Kontantinus sebagai agama kekaisaran. Akibat dekrit tersebut, jumlah pemeluk agama Kristen menjadi meningkat tajam. Oleh karena itu, Konstantinus merasa resah dengan konflik yang semakin menajam antara pendukung Alexander dengan Arius. Sebagai Kaisar ia tidak memusingkan adanya perbedaan pemikiran yang terjadi di antara warga negaranya asalkan itu tidak membawa suatu pertikaian fisik. Posisi Konstantinus jelas, ia menghendaki kedamaian di kekaisarannya. Persatuan dan kesatuan di dalam kerajaannya lah yang menjadi tujuannya setelah selama puluhan tahun terjebak dalam serangkaian perang saudara.

Untuk mengakhiri konflik ini, Konstantinus mengundang semua uskup di wilayah kekaisarannya pada tahun 325. Karena ia sedang menginap di istananya di tepi danau, di Nicea yang merupakan wilayah timur dari kekaisarannya, maka kebanyakan uskup yang hadir adalah uskup-uskup yang bertugas di wilayah timur. Hanya 6 uskup dari wilayah barat yang hadir dalam pertemuan tersebut. Konstantinus memperlakukan dengan spesial para uskup tersebut. Tamu-tamu terhormat tersebut tiba di Nicea dengan menggunakan transportasi khusus kekaisaran. Biaya perjalanan ditanggung seluruhnya oleh istana. Tidak hanya itu mereka pun disambut dengan hadiah-hadiah mewah dan diberi penginapan mewah dan aman. Konstantinus melakukan hal ini untuk mempersatukan gereja di dalam kekaisarannya. Tetapi bukan Konstantinus yang mengambil keputusan akhir dalam pertemuan tersebut.


 Konsili Para Martir!

Yang tidak diketahui atau ditutup-tutupi oleh para penuduh abad sekarang ini adalah bahwa para uskup yang hadir dalam sidang di Nicea tersebut  lebih biasa menerima siksaan daripada dimanja. Semua yang hadir pernah mengalami siksaan di bawah kaisar Diokletianus (memerintah sekitar 284-305), kaisar yang berusaha untuk melenyapkan kekristenan dari muka bumi dan Maksimianus (memerintah 286-305) yang tidak segan-segan menghukum mati orang-orang yang menolak menyangkal Kristus.

Menurut laporan, banyak dari para uskup yang memiliki tanda-tanda bekas siksaan. Ada uskup yang kehilangan mata kanannya, ada yang berjalan timpang, beberapa lagi tidak dapat memakai jari tangannya akibat syaraf-syaraf tangannya telah mati akibat disodok oleh besi panas, beberapa lagi kehilangan kaki atau tangan. Begitu nyata tanda penganiyaan tersebut, sehingga seorang penulis sejarah gereja mengatakan, “Konsili itu kelihatan seperti sidang para martir!” Jadi para penuduh yang menyatakan bahwa para uskup yang hadir tunduk pada keputusan Konstantinus mendapat bukti nyata dan telak. Tentunya, para uskup yang telah mendapat siksaan yang luar biasa kejamnya tersebut tidak akan mengorbankan integritas rohaninya dan begitu mudah didikte mengenai apa yang mereka percaya tentang Kristus, tanpa peduli ada atau tidak tekanan dari kaisar.

Hal lain yang dapat mementahkan argumen para penuduh adalah bahwa tidak ada satu pun uskup yang hadir dalam Konsili Nicea mengira bahwa keilahian Yesus yang akan dibahas dalam konsili itu. Keilahian Yesus adalah kepercayaan umum yang dipegang oleh para uskup dan seluruh umat Kristen saat itu selama lebih dari tiga abad. Sama seperti para pendahulu mereka, para uskup dan jemaat Kristen, secara aktif menyembah Yesus, berdoa kepadaNya dan mengakui Dia sebagai Tuhan! Hal inilah yang saya tulis pada tulisan pengantar pada tema ini yang menyatakan bahwa klaim bahwa keilahian Yesus diciptakan di (konsili) Nicea adalah klaim yang dianggap ketinggalan zaman oleh umat Kristen abad keempat.

Apa yang terjadi dalam konsili tersebut adalah bahwa para uskup lebih banyak berkotbah daripada berpolitik. Mereka terbeban bagi jemaat mereka dan demi kesetiaan kepada “bapa-bapa gereja yang kudus”. Mereka menghimpun hikmat dari bapa-bapa gereja untuk memahami hakikat Kristus dan tentunya mencari kesaksian Roh tentang kebenaran dalam konteks umat. Melihat hal ini sudah cukup membungkam para penuduh abad sekarang ini bahwa tidak mungkin Konstantinus, selaku kaisar, dapat mengintervensi atau bahkan mengarahkan konsili tersebut kepada satu tujuan. Para uskup dalam konsili lebih mementingkan tradisi rasuli yang dipercayai selama tiga abad terakhir, bahkan mereka rela meninggalkan teologi yang dipraktikkan dalam jemaat mereka untuk bersatu dengan umat Kristen lainnya yang lebih luas untuk membicarakan apa yang telah dipraktikkan bersama-sama.

Kaisar bukanlah teolog. Oleh karena itu ia mengandalkan penasihat teologinya, Hosius, untuk memetakan persoalan kepadanya. Konstantinus ingin mendapat suatu penyelesaian yang didukung oleh sebagian besar uskup, tidak menjadi soal apa pun isinya. Ia hanya memikirkan keutuhan kekaisarannya daripada rumusan teologis yang tepat. Tidak lama setelah dimulainya persidangan, ada beberapa uskup yang meminta agar pendirian Arius dijelaskan terlebih dahulu. Arius hanyalah imam sehingga ia tidak dapat hadir dalam konsili. Ia diwakili oleh sahabat sekaligus pendukung utamanya, Eusebius dari Nikomedia. Eusebius menggunakan kesempatan ini untuk menjelaskan pendirian Arius secara gamblang. Ia benar-benar berusaha keras untuk menjelaskan bahwa Anak sama sekali tidak setara dengan Bapa dan sesungguhnya hanyalah makhluk terbatas. Para uskup yang hadir terkejut dengan penjelasan Eusebius. Sejarawan gereja, Roger E . Colson, menceritakan keadaan saat itu :

Beberapa uskup menutupi telinga mereka dengan tangan mereka dan berteriak supaya ada orang yang menghentikan hujatan-hujatan itu (penjelasan Eusebius tentang posisi Arius). Seorang uskup dekat Eusebius maju dan merebut naskah dari tangannya, lalu mencampakkannya ke lantai dan menginjak-injaknya. Keadaan kacau ini baru berhenti atas perintah kaisar.” (Roger E. Colson, The Story of Christian Theology (Downers Grove. IL : InterVarsity Press, 1999, hal. 153-154)

Para uskup yang sebelumnya tidak tahu dengan pasti duduk persoalannya dan belum menentukan sikapnya langsung memandang Arius sebagai pihak yang berseberangan. Mayoritas uskup tidak dapat menerima pendirian yang menganggap bahwa Yesus terbatas. Keilahian yang terbatas bukanlah keilahian. Semakin banyak yang mendesak agar konsili mengeluarkan pernyataan resmi melawan teologi Arius atau Arianisme.

Para uskup tidak senang dengan apa yang dikatakan Arius dan para pengikutnya tentang natur anak yang terbatas. Mereka tahu apa yang tidak mereka percayai. Namun, bagaimana mereka dapat merumuskan dengan tepat apa yang mereka percayai tentang keilahian Kristus? Jadi, masalah utama di Nicea adalah menentukan bagaimanabukan apakah – Yesus bersifat ilahi.

Apa yang terjadi dalam konsili tersebut dalam menentukan bagaimana Yesus bersifat ilahi? Kita akan mengetahuinya dalam tulisan saya berikutnya....

Minggu, 17 Juni 2012

PENGAKUAN IMAN NICEA (325 M)


Aku percaya akan satu Elohim, Bapa yang Maha Kuasa, Pencipta langit dan bumi dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan.

Dan akan Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang Tunggal, Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad. Allah dari Allah, terang dari terang. Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa, segala sesuatu dijadikan olehnya.Ia turun dari sorga untuk kita manusia, dan untuk keselamatan kita, dan Ia menjadi daging oleh Roh Kudus dari perawan Maria dan menjadi manusia.Ia pun disalibkan untuk kita waktu Pontius Pilatus, Ia wafat kesengsaraan dan dimakamkan. Pada hari ketiga Ia bangkit, menurut Kitab Suci. Ia naik ke sorga, duduk di sisi kanan Bapa. Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati; Kerajaan-Nya takkan berakhir.

Aku percaya akan Roh Kudus, Tuhan yang menghidupkan; yang berasal dari Bapa dan Putra, yang serta Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan. Ia bersabda dengan perantaraan para nabi. Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, universal dan apostolik. Aku mengakui satu pembaptisan akan penghapusan dosa. Aku menantikan kebangkitan orang mati, dan kehidupan di dunia yang akan datang. Amin.”

English Version :

We believe in one God the Father Almighty, Maker of heaven and earth, and of all things visible and invisible.


And in one Lord Jesus Christ, the only-begotten Son of God, begotten of the Father before all worlds, God of God, Light of Light, Very God of Very God, begotten, not made, being of one substance with the Father by whom all things were made; who for us men, and for our salvation, came down from heaven, and was incarnate by the Holy Spirit of the Virgin Mary, and was made man, and was crucified also for us under Pontius Pilate. He suffered and was buried, and the third day he rose again according to the Scriptures, and ascended into heaven, and sitteth on the right hand of the Father. And he shall come again with glory to judge both the quick and the dead, whose kingdom shall have no end.


And we believe in the Holy Spirit, the Lord and Giver of Life, who proceedeth from the Father and the Son who with the Father and the Son together is worshipped and glorified, who spoke by the prophets. And we believe one holy catholic and apostolic Church. We acknowledge one baptism for the remission of sins. And we look for the resurrection of the dead, and the life of the world to come. Amen.

Minggu, 03 Juni 2012

Menjawab Tuduhan (Bagian Empat)


Beberapa tahun terakhir ini, sangat banyak sekali buku-buku yang mengkritisi, bahkan menyerang, iman Kristen. Salah satunya adalah tentang kehidupan Yesus. Topik yang dituangkan dalam buku-buku tersebut sangat beragam, mulai dari apakah Yesus pernah mengunjungi India dan belajar tentang konsep Hinduisme atau Buddhisme? apakah Yesus seorang mistikus atau bahkan gnostik? Apakah Yesus menikah dengan Maria Magdalena dan memiliki anak? apakah Yesus berpura-pura mati di kayu salib dan pergi melarikan diri ke Mesir?  Dan apakah Yesus benar-benar hidup dalam suatu masa?

Dari buku-buku tersebut, yang paling mengguncangkan adalah tentu saja novel fiksi karya Dan Brown, Da Vinci Code. Novel ini mencetak penjualan tertinggi di berbagai negara dan mencapai puncaknya ketika Holywood memfilmkan novel tersebut dengan aktor kawakan Tom Hanks. Dan Brown tidak saja mendadak kaya akibat royalti dari novel dan film Da Vinci Code, ia pun menjadi selebritis baru dunia.

Walaupun novel ini masuk dalam kategori fiksi, tetap saja banyak orang yang percaya dongeng Dan Brown tentang kisah hidup Yesus. Ironisnya, banyak orang-orang Kristen yang membaca novel ini menjadi terguncang imannya. Khusus di Indonesia, saya melihat hanya beberapa saja penerbit buku-buku rohani Kristen yang menerbitkan buku-buku sanggahan terhadap novel Dan Brown, dan buku-buku lainnya yang menyerang iman Kristen. Para pendeta di gereja pun jarang membahas tentang buku-buku tersebut.

Tulisan saya kali ini tidak akan membahas seluruh topik yang populer di masa sekarang seperti yang saya sebutkan di atas (kalau memang Tuhan mengijinkan, saya akan mencoba untuk membahasnya di lain kesempatan). Saya akan membahas salah satu topik mengenai keotentikan historitas Yesus. Saya mencoba untuk menuliskan apa yang dikatakan oleh para lawan dari kekristenan dan para Bapa-bapa gereja sebelum masa Konsili Nicea.

Tuduhan : “Yesus mendapat tempat dalam sejarah hanya di Perjanjian Baru dan sama sekali diabaikan oleh banyak sejarawan pada zamanNya, salah satu era yang dinilai paling lengkap tercatat dalam sejarah” ~Acharya S., The Christ Conspiracy, hal. 100

Jawab :

EJEKAN DARI PARA LAWAN KEKRISTENAN

Bagi orang Kristen, Yesus lebih dari sekedar manusia biasa. Ia adalah Tuhan yang sesungguhnya. Tetapi pada masaNya, Yesus hanyalah seorang tukang kayu Yahudi yang tinggal di Nazaret di tanah Palestina, wilayah jajahan kekaisaran Romawi yang jauh dan kumuh. Ia bukan seorang politikus hebat, Ia hanyalah seorang pengkhotbah keliling yang pelayanannya dihabiskan sebagian besar di pesisir pantai Galilea dan hanya sekali-kali pergi ke Yerusalem bersama para muridNya. Saya tidak bermaksud mengejek Yesus. Saya mencintai Yesus. Saya mengakui dengan ketulusan hati bahwa Ia adalah Tuhan dan Juruselamat. Saya hanya ingin menempatkan bagaimana posisi Yesus dalam bingkai sejarah pada masaNya.

Hal yang lain adalah, bahwa para sejarawan pada masa Yesus berasal dari latar belakang kalangan elit. Biasanya mereka adalah anak pejabat kekaisaran Romawi dan mengenyam pendidikan yang terbaik. Para sejarawan tersebut menganggap remeh dan rendah agama-agama dunia Timur. Konteks bahasan mereka terpusat hanya pada kegemilangan kekaisaran Romawi di masa lalu. Bagi mereka, Yesus hanyalah seorang sofis (filsuf jalanan) yang kehidupannya berakhir tragis di salib. Ya, hanya sebatas itulah pandangan mereka tentang Yesus dan tentu saja tidak akan menarik minat mereka untuk menuliskan kisah Yesus dalam tulisan-tulisan mereka.

Tetapi walaupun begitu, sungguh luar biasa bahwa kita masih bisa menemukan pernyataan mengenai Yesus dari para penulis non – Kristen.

A.     FLAVIUS JOSEPHUS
Nama aslinya adalah Joseph bin Matthias. Ia adalah sejarawan Yahudi kenamaan yang berasal dari keluarga imam. Di tahun 93 M, ia menulis buku sejarah yang monumental, Antiquitates Judaicae atau Jewish Antiquities. Sebuah risalah sejarah yang terdiri dari 20 buku yang melukiskan sejarah bangsa Yahudi, mulai dari penciptaan hingga pecahnya pemberontakan tahun 66-70 M yang diakhiri dengan dihancurkannya Yerusalem oleh pasukan Romawi.

Pernyataan tentang Yesus ada dalam risalah karya Josephus. Dalam buku ke-18 pada bagian Testimonium Flavianum tentang Yesus (Antt. 18, 63-64) berbunyi :

Pada masa inilah muncul Yesus, seorang yang bijaksana, kalau boleh dia disebut manusia. Karena dia adalah seorang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan dan seorang guru bagi mereka yang menerima kebenaran yang menyenangkan, dan dia telah memikat banyak orang Yahudi dan orang Yunani. Dia ini adalah Kristus. Dan ketika Pilatus, atas desakan orang-orang penting di antara kita, telah menghukumnya di kayu salib, mereka yang sejak semula mengasihinya tidak berhenti [mengasihinya] karena pada hari ketiga dia telah menampakkan diri kepada mereka dalam keadaan hidup kembali. Para nabi Allah telah menubuatkan hal ini dan berbicara tentang aneka hal ajaib tentang dia. Dan klan Kristen, demikian disebut menurut [nama]nya, masih bertahan sampai hari ini.”

Seperti biasa selalu ada orang-orang skeptis yang berusaha untuk menyerang Yesus. Pernyataan Josephus tentang Yesus tersebut juga dicurigai telah ditambahi oleh para penerjemah Kristen. Walaupun begitu mayoritas para ahli sejarah literatur kuno sepakat bahwa risalah monumental Josephus ini adalah benar adanya.


B.     LUCIANUS DARI SAMOSATA
Ia adalah pujangga satir Yunani yang wafat pada tahun 180 M di Athena. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul De Morte Peregrini atau Kematian Peregrinus, Lucianus mencerca umat Kristen saat itu karena pemujaan mereka terhadap Yesus, “yang masih mereka sembah, orang yang disalibkan di Palestina karena memperkenalkan kultus baru ini kepada dunia.” (Lucian, The Passing Peregrinus; dikutip dalam Reinventing Jesus; J. Ed Komoszewski, M. James Sawyer, Daniel B. Wallace; Kregel Publications, Grand Rapids, 2006, hal.  240-241)


C.     CELSUS
Ia adalah filsuf Romawi yang pada tahun 170 M menulis risalah yang mencemooh orang Kristen yang menyembah seorang manusia sebagai Elohim :

“... mereka menyembah seorang manusia yang baru muncul belakangan ini. Mereka menganggap penyembahan kepada Elohim yang Agung konsisten dengan penyembahan kepada hambaNya sebagai Elohim. Penyembahan terhadap Yesus ini lebih parah lagi, karena mereka tidak mau mendengar pembicaraan apapun tentang Elohim, Bapa dari semua orang, kecuali bila Yesus diikutsertakan.” (Celsus, On The True Doctine : A Discourse Against The Christians; dikutip dalam Reinventing Jesus, hal. 241)



D.     PLINY
Ia adalah Gubernur Bitinia (saat ini masuk dalam wilayah Turki) dari tahun 111 sampai 113 M. Pliny tidak menyukai pengaruh Kekristenan yang mempengaruhi bisnis di kuil-kuil agama kafir. Sekitar tahun 112 M, Pliny secara cerdik menulis surat kepada kaisar Trayanus. Ia menulis tentang kehidupan sekte Kristen, “... bertemu secara teratur menjelang fajar pada hari yang ditetapkan untuk mendaraskan ayat-ayat secara bergantian guna menghormati Kristus seolah-olah Dia adalah seorang dewa.” (Pliny, Letters and Panegyricus; dikutip dalam Reinventing Jesus, hal. 243)


E.     MARA BAR SARAPION
Dia adalah seorang filsuf Stoa dari Syria yang menulis surat untuk anaknya Sarapion yang tengah berada dalam penjara Romawi. Dia menasihati anaknya bahwa kebijaksanaan mungkin akan dimusuhi oleh dunia yang penuh dengan kekerasan, namun kebijaksanan itu sendiri abadi. Dia mengilustrasikannya dengan menggambarkan kehidupan Socrates, Phytagoras, dan Yesus – kendati dia tidak menyebut nama-Nya secara eksplisit. Demikian teks selengkapnya:

“Apakah baiknya orang-orang Athena membunuh Socrates, karena perbuatan mereka dibalas dengan kelaparan dan wabah? Apakah faedahnya orang-orang Samian membakar Phytagoras, karena akhirnya negeri mereka seluruhnya terkubur di bawah pasir pada saat itu? Dan apakah manfaatnya orang-orang Yahudi membunuh raja mereka yang bijaksana, karena kerajaan mereka akhirnya direbut dari mereka dari saat itu? Tuhan dengan adil telah membalaskan ketiga orang bijaksana ini. Orang-orang Athena mati oleh kelaparan, orang-orang Samian ditenggelamkan ke laut, dan orang-orang Yahudi disembelih dan dihalau dari kerajaannya, sehingga mereka hidup terpencar dimana-mana. Socrates tidak mati, berterimakasihlah pada Plato; demikian pula Phytagoras, karena patung Hera. Demikian juga sang raja bijasana tidak [mati], karena hukum baru yang ia berikan.”

Mara Bar Serapion yang menulis surat paling awal setelah kehancuran Yerusalem dan kemudian orang-orang Yahudi terpencar (terdiaspora) ke pelbagai tempat, melihat Yesus sebagai seorang raja yang bijaksana. Kemungkinan besar dia mengetahui bahwa saat Yesus disalibkan Pilatus menuliskan keterangan di salib-Nya “Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi” (INRI), yang tertulis dalam bahasa Ibrani, Latin, dan Yunani (Yoh 19:19-20). Demikian pula dia mengenal hukum baru yang dibawa Yesus, bukanlah hukum Taurat, melainkan hukum kasih yang mungkin diketahuinya dari para pengikut Kristus. Tetapi Mara sendiri adalah seorang filsuf kafir.      


F.      CORNELIUS TACITUS
Tacitus adalah seorang sejarawan Romawi yang lahir sekitar 52 – 54 M dan meninggal sekitar 120 M. Pada tahun 112 / 113 M dia menjadi pro konsul / gubernur di Asia. Dia menulis buku Annals yang berisi sejarah kekaisaran Romawi periode 14 M – 68 M. Dalam bukunya Annals volume XV, tentang Kaisar Nero yang telah mengkambinghitamkan orang Kristen sebagai penyebab terbakarnya kota Roma, ia menulis dalam Annals 15.44.2-3 sebagai berikut :

“… Nero dari keaiban oleh karena dituduh telah sengaja menimbulkan kebakaran besar di Roma. Jadi untuk menghentikan desas-desus itu dia mengalihkan tuduhan dengan memfitnah dan menghukum dengan siksaan paling keji terhadap orang-orang yang disebut Kristen, yang dibenci karena kejahatannya, Kristus, dari mana nama ini berasal, yang menderita hukuman yang ekstrem (Dieksekusi) dalam pemerintahan Tiberius, di tangan prokurator kita, Pontius Pilatus, dan sebuah ketidakmasukakalan yang banyak mencelakakan, karena ketika dicek pada waktu itu, meletus lagi tidak hanya di Yudea, sumber pertama kejahatan ini, tetapi bahkan di Roma, dimana segala kengerian dan kebencian dari setiap bagian dunia mendapatkan pusatnya dan menjadi popular.”

Demikian laporan Tacitus, sejarawan Romawi, yang menuturkan situasi pengikut Kristus di kota Roma. Tentang Kristus, Tacitus menyebutkan bahwa dia telah menderita hukuman yang ekstrem pada masa pemerintahan Pontius Pilatus. Tidak disebutkan secara eksplisit cara eksekusinya, namun hukuman salib merupakan cara eksekusi yang lazim pada masa itu bagi pelaku tindakan kriminal dan pemberontakan. Paulus dipenggal kepalanya di Roma karena dia mempunyai kewarganegaraan Romawi.

Demikianlah pernyataan-pernyataan dari beberapa penulis non Kristen yang secara tidak langsung melaporkan bahwa sesungguhnya Yesus benar-benar ada dalam masaNya. Pernyataan-pernyataan ini meneguhkan kesaksian Injil kanonik yang menceritakan kehidupan dan pelayanan Yesus dalam dunia.

Mengenai sumber dari Bapa-bapa gereja akan saya tuliskan dalam edisi berikutnya.




Buku-buku rekomendasi untuk memperkaya bahasan ini :


1. Against Celsus karya Origen (http://www.ccel.org/ccel/schaff/anf04.vi.ix.i.ii.html)


2. Merekayasa Yesus, Craig A. Evans, Penerbit ANDI, 2007 (Fabricating Jesus, Craig A. Evans, InterVarsity Press, 2005) >>> {http://lilinkecil.com/product_info.php?manufacturers_id=21&products_id=434&osCsid=4b737af10ab44012dbcf068004dfb773}

3. Reinventing Jesus; J. Ed Komoszewski, M. James Sawyer, Daniel B. Wallace; Perkantas - Divisi Literatur, 2011 (Reinventing Jesus; J. Ed Komoszewski, M. James Sawyer, Daniel B. Wallace; Kregel Publications, Grand Rapids, 2006) >>> {http://lilinkecil.com/product_info.php?products_id=1293}

Minggu, 27 Mei 2012

Menjawab Tuduhan (Bagian Ketiga)


AKU ADALAH AKU

Terkadang latar belakang Yahudi Yesus sering dilupakan oleh orang-orang Kristen. Potret Yesus kebanyakan sudah terdistorsi dengan semua hal yang berbau barat. Hal yang lain adalah berhubungan dengan perkembangan dunia politik internasional selama 40 tahun terakhir, khususnya di Timur Tengah. Pertikaian antara bangsa Israel dengan tetangga mereka, bangsa Arab dan Palestina, mempengaruhi pandangan orang-orang Kristen akan Yahudi. Berita-berita internasional selalu mengarahkan kamera dan pena mereka kepada Israel yang selalu digambarkan kejam dan tidak berperikemanusiaan kepada bangsa Palestina. Hal ini membuat orang-orang Kristen selalu menghindarkan diri dari kenyataan bahwa Yesus adalah seorang yang lahir dari keluarga Yahudi dan tumbuh besar di antara adat-istiadat dan kebudayaan Yahudi. Orang-orang Kristen takut dicap sebagai antek-antek zionis Israel yang Yahudi. Tetapi tragisnya hal itu malah membuat Yesus semakin jauh dari akar Yahudinya yang tentu saja mengaburkan asal-usul keyahudianNya.

Mengapa saya menyinggung hal ini dalam bahasan saya mengenai Ketuhanan Yesus?

Karena klaim Yesus mengenai keilahian diriNya berhubungan langsung dengan apa yang diyakini dan dipercayai oleh bangsa Yahudi selama ribuan tahun.

Kita akan mencoba untuk mempelajari sebuah perkataan Yesus, di mana sebanyak 30 kali, Rasul Yohanes, menuliskannya dalam Injilnya, Yohanes. Perkataan tersebut adalah “EGO EIMI”, dalam bahasa Yunani atau diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “I AM” dan “AKU adalah” atau “AKULAH” dalam bahasa Indonesia.

Menurut beberapa sumber kuno, Rasul Yohanes, di masa tuanya ketika tinggal di Efesus, diminta oleh para penatua di Asia untuk menuliskan “Injil yang rohani” ini untuk menyangkal suatu ajaran sesat mengenai sifat, kepribadian, dan keilahian Yesus yang dipimpin oleh seorang Yahudi yang bernama Cerinthus. (Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Gandum Mas, 2002, hal. 1695)

Sekali lagi tulisan dari Ajith Fernando dalam bukunya Supremasi Kristus menjelaskan perkataan “EGO EIMI” dengan baik.

Ajith Fernando menulis, ”Dalam bahasa Yunani, akhiran verba beragam menurut subjeknya. Hal ini jarang terjadi dalam bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesia, tetapi kata “am” adalah salah satunya. Saat anda melihat kata “am”, anda tahu pasti subjeknya “I”. Hal ini selalu terjadi dalam bahasa Yunani. Tetapi dalam bahasa Yunani, penggunaan subyek dalam kalimat bukan keharusan jika subyek tersebut sebuah pronomina (kata ganti orang) seperti “I” atau “he” atau “we”. Sehingga kalimat seperti “I am the bread” cukup dikatakan “Am the bread” dalam bahasa Yunaninya. Tetapi jika anda memberikan penekanan tentang subyeknya, barulah anda menggunakan kata ganti tersebut. Yohanes melakukan hal ini sebanyak 30 kali dalam pernyataan “I AM”-nya Yesus. Kita bisa mengatakan bahwa Yohanes melakukannya untuk memberikan penekanan khusus.” (Supremasi Kristus, hal 36)

Inilah mengapa kita tidak hanya membaca Alkitab dalam bahasa terjemahan (dalam hal ini bahasa Indonesia), tetapi juga harus membaca dan mempelajari Alkitab dalam bahasa aslinya. Dalam hal ini, Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani dan sebagian Aram, sedangkan Perjanjian Baru adalah dalam bahasa Yunani. Injil Yohanes yang merupakan bagian dari kitab dalam Perjanjian Baru menggunakan bahasa Yunani. Dari sana kita bisa mengerti bahwa ada maksud yang dituju oleh penulis dari Injil Yohanes mengenai keilahian Yesus, khususnya pelajaran mengenai perkataan “EGO EIMI”, yakni bahwa Yohanes melakukannya untuk memberikan penekanan khusus terhadap pribadi Yesus.

Lebih lanjut Ajith menulis, “Dalam versi terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani atau lebih dikenal dengan Septuaginta, yang sangat populer di abad pertama, saat para penerjemah sampai kepada kata-kata untuk Elohim, “mereka kelihatannya berpikir bahwa kata-kata itu harus diterjemahkan berbeda dari kata-kata untuk manusia.” Sehingga “mereka cenderung menggunakan bentuk penegasan dengan kata ganti “I” (Leon Morris, Reflection on The Gospel of John, vol. 2, Grand Rapids, 1987).” (Supremasi Kristus, hal. 37)

Sebelum lebih jauh, saya akan mengajak anda untuk melihat di dalam kitab Keluaran pada pasalnya yang ke-3. Pada pasal ini Musa bertemu dengan Tuhan di gunung Horeb ketika menggembalakan kambing dan domba mertuanya, Yitro. Tuhan hendak mengutus Musa ke Mesir sebagai alatNya untuk membawa keluar bangsa Israel dari perbudakan. Musa menanyakan nama Tuhan sebagai antisipasi kalau-kalau orang Israel menanyakan siapa nama Tuhan yang mengutus dirinya. Tuhan menjawab, “AKU adalah AKU. Lagi firmanNya : “Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu : “AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu.” (Keluaran 3:14)

Dalam terjemahan Indonesia kita tidak akan melihat dengan jelas. Oleh karenanya saya akan menampilkan bahasa asli dari ayat tersebut dan juga dalam bahasa Yunani (Septuaginta) :

Ibrani :

“VAYOMER {dan Dia berfirman} ‘ELOHIM {Elohim} ‘EL – MOSYEH {kepada Musa} ‘EHEYEH {Aku akan ada} ‘ASYER {yang} ‘EHEYEH {Aku akan ada} VAYO’MER {dan Dia berfirman} KOH {demikian} TO’MAR {engkau harus berkata} LIVENEY {kepada anak-anak} YISERA’EL {Israel} ‘EHEYEH (Aku akan ada} SYELAKHANI {mengutus aku} ‘ALEYKHEM {ke atas kalian}”

Yunani (Septuaginta) :

“KAI EIPEN HO THEOS MOUSEN EGO EIMI HO ON KAI EIPEN AUTOS EREIS TOIS HUIOIS ISRAEL HO ON APESTALKEN ME PROS HUMAS”

Dari Keluaran 3:14 kita dapat mengetahui bahwa inilah nama Tuhan yang dinyatakan oleh Tuhan sendiri kepada Musa, yaitu : EHEYEH atau oleh para penerjemah PL Ibrani ke bahasa Yunani (Septuaginta) adalah EGO EIMI.

Kita akan melihat beberapa terjemahan dalam bahasa Inggris :

King James Version (KJV) :
And God said unto Moses, I AM THAT I AM: and he said, Thus shalt thou say unto the children of Israel, I AM hath sent me unto you.

New International Version (NIV) :
God said to Moses, “I am who I am”. This is what you are to say to the Israelites: ‘I am’ has sent me to you.’”

English Revised Version :
And God said unto Moses, I AM THAT I AM: and he said, Thus shalt thou say unto the children of Israel, I AM hath sent me unto you.

Kita akan masuk pada pernyataan AKU-nya Yesus dalam Injil Yohanes. Saya akan mengambil satu contoh saja.

Yohanes 6:35 =

“Kata Yesus kepada mereka: "Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.

KJV : “And Jesus said unto them, I am the bread of life: he that cometh to me shall never hunger; and he that believeth on me shall never thirst.”

Kita lihat dalam terjemahan aslinya :
“Eipen autois ho Iesous EGO EIMI ho arthos tes zoes....”

Kita dapat melihat bahwa Yohanes menggunakan frasa EGO EIMI yang di mana frasa tersebut dipakai sebagai padanan kata dari EHEYEH dalam bahasa Ibrani yang menunjuk kepada nama Tuhan sendiri.

Setelah melihat dari terjemahan asli dalam bahasa Ibrani dan beberapa terjemahan lainnya, kita sampai pada kesimpulan bahwa saat “Yohanes menuliskan pernyataan Yesus dengan pronomina yang bersifat penekanan, dia sedang menggunakan ‘gaya bahasa yang menunjukkan Elohim’. Inilah salah satu cara dari Yohanes untuk menunjukkan bahwa Yesus lebih dari sekedar manusia biasa. Yohanes menunjukkan bahwa kata-kata untuk Elohim pantas untuk Yesus.” (Supremasi Kristus, hal. 37)

Satu hal terakhir yang saya mau ungkapkan di dalam tulisan kali ini adalah salah satu perbincangan antara Yesus dengan orang-orang Yahudi di dalam Bait Elohim.

Yohanes 8 :57,58 =

Maka kata orang-orang Yahudi itu kepada-Nya: "Umur-Mu belum sampai lima puluh tahun dan Engkau telah melihat Abraham?"

Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, AKU telah ada."

Dalam terjemahan Yunaninya pada ayat yang ke-58 :

Eipen autois Iesous Amen amen lego hymin prin Abraam genesthai EGO EIMI

KJV : Jesus said unto them, Verily, verily, I say unto you, Before Abraham was, I AM.

Bagi orang-orang yang tidak paham dengan keyakinan orang Yahudi, maka perkataan Yesus tersebut tidak ada pengaruhnya. Tetapi pada masa Yesus, perkataan tersebut sangatlah kontroversial. Orang-orang Yahudi langsung mengerti apa yang dimaksud oleh Yesus sehingga mereka langsung mengambil batu untuk melempari Yesus (Yohanes 8:59). Perkataan itu berarti bukan saja pada waktu Abraham ada, Yesus ada; tetapi sebelum Abraham ada, Yesus sudah ada dan sesudah Abraham tidak ada, Yesus tetap ada. Itu sebab Yohanes memakai perbedaan tenses di sini, “Before Abraham was, I AM.” Singkatnya, Yesus menyatakan diri sebagai Elohim yang sudah bereksistensi dari dulu, sekarang dan selama-lamanya. Perkataan itu terkait langsung dengan perkataan Tuhan kepada Musa dalam Keluaran 3:14 = EHEYEH ASYER EHEYEH, EGO EIMI HO ON, I AM THAT I AM, AKU adalah AKU. Kalimat ini menyatakan bahwa Elohim itu adalah Elohim yang kekal, yang sudah ada dari dulu, sekarang dan selama-lamanya, Elohim yang menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Orang Yahudi sangat mengerti bahwa kata “I AMhanya bisa diberikan kepada Tuhan Elohim sendiri dan kata itu sekarang dipakai oleh Tuhan Yesus langsung, “Jesus said unto them, Verily, verily, I say unto you, Before Abraham was, I AM.”

Setelah anda membaca tulisan ini dan dua tulisan sebelumnya, sudahkah anda menetapkan hati anda untuk mengakui dan menerima dengan sungguh-sungguh bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat? Jikalau belum, sekaranglah waktu yang tepat untuk anda untuk menyatakan pengakuan iman anda kepada Tuhan Yesus. Anda tidak tahu kapan anda akan meninggalkan dunia ini. Tidak akan ada kesempatan kedua atau ketiga atau seterusnya setelah anda meninggalkan dunia ini. 

Yoel 2:32 
Dan barangsiapa yang berseru kepada nama TUHAN akan diselamatkan

Roma 10:9
Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan.




Link-link untuk mempelajari Alkitab dari berbagai terjemahan :