Selasa, 27 Desember 2011

Bukan Natal Yang Saya Kenal (Bagian terakhir)


Dalam tulisan saya sebelumnya, peristiwa kelahiran Yesus memberikan gambaran Elohim yang berbeda dengan ilah-ilah yang disembah kebanyakan manusia pada masa itu. Pertama, Elohim yang rendah hati dan kedua, Elohim yang bisa didekati. Sangat jelas dua gambaran Elohim itu bukanlah gambaran yang dibayangkan manusia selama ini tentang Yang Mahakuasa. Ada dua gambaran yang lain lagi yang ditampilkan Elohim melalui kelahiran Yesus Kristus.

Kesederhanaan.

Kata ini sebenarnya adalah kata yang tidak pantas saya tuliskan untuk menggambarkan Elohim, Sang Pencipta Alam Semesta. Tapi kelahiran Yesus Kristus mau tidak mau memberikan gambaran kepada saya bahwa walaupun kebanyakan manusia melihat kuasa dan kekayaan sebagai tolok ukur, tetapi Elohim lebih menyukai mereka yang hidup sangat sederhana.

Dalam Injil Lukas, Maria menyanyikan pujian bagi Elohim atas kehamilan ajaib dirinya. Tetapi satu tahun kemudian, ia dan Yusuf beserta bayi mereka, Yesus, harus mengungsi ke Mesir menghindari tangan jahat Herodes atas bayi mereka. Bagi orang Yahudi, Mesir adalah pengalaman buruk mereka. Selama 400 tahun, nenek moyang mereka mengalami perbudakan. Tetapi di Mesir pula lah, Elohim menunjukkan kekuasaanNya. Ia memporak-porandakan Mesir melalui serangkaian tulah mematikan dan diakhiri dengan gugurnya prajurit-prajurit terbaik Mesir di laut Merah. Elohim Abraham, Ishak dan Yakub mengantarkan bangsa Yahudi ke tanah Kanaan, tanah yang dijanjikan kepada leluhur mereka, Abraham. Sekarang Maria harus melarikan diri ke Mesir, bersembunyi di negara yang dulu diporakporandakan oleh Elohim. Apakah sang Bayi bisa memenuhi harapan besar bangsaNya? Dimanakah kegagahan Maria ketika menyanyikan pujian bagi Elohim setahun sebelumnya?

Pada malam kelahiran Yesus, kita diberitahu bahwa tiga orang Majusi yang datang dari timur (kemungkinan besar di wilayah Babilonia atau Irak sekarang) untuk mengunjungi Yesus. Orang Majusi adalah orang-orang intelektual pada masa itu. Salah satu keahlian mereka adalah mereka pandai dalam telaah perbintangan atau astronomi. Ribuan tahun sebelumnya, bangsa Yahudi pernah mengalami pembuangan ke tanah Babel. Saya yakin 3 orang Majusi ini pernah membaca kitab-kitab nabi Yahudi dan pastinya mereka membaca berbagai nubuatan mengenai Mesias yang menyelamatkan bangsa Israel dan memimpin dunia. Melalui informasi dari kitab-kitab nabi Yahudi dan telaah perbintangan mereka dapat menghitung kelahiran Mesias dan di mana Mesias akan dilahirkan. Berbekal informasi tersebut, mereka meninggalkan negaranya untuk pergi melihat langsung Mesias tersebut.

Saya membayangkan bahwa Elohim pasti turut andil untuk membantu 3 orang Majusi tersebut. Bagi bangsa Yahudi, 3 Majusi tersebut adalah bangsa kafir dan tentunya najis. Tetapi Elohim menuntun mereka melihat bayi Mesias. Bahkan, 3 orang kafir dan najis ini melindungi sang bayi Yesus dengan membangkang perintah Herodes untuk memberitahukan di mana sang Mesias tersebut berada. 3 orang Majusi memilih jalur lain untuk pulang ke negaranya. Mereka memihak Yesus melawan otoritas penguasa.

Pada masa pelayananNya, Yesus sering berkonfrontasi dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Ia tidak segan menyebut mereka keturunan ular beludak, keturunan pembunuh nabi-nabi. Tetapi Yesus mudah sekali tergerak hatinya melihat penderitaan orang-orang kecil. Ia tidak ragu untuk duduk mengajar di antara orang-orang najis. Bahkan di antara kedua belas muridNya ada pemungut cukai (Lewi), pemberontak (Simon orang Zelot. Zelot adalah salah satu organisasi yang menentang Romawi dengan cara mengangkat senjata) dan skeptis (Thomas).  Ia tidak ragu meninggikan derajat orang Samaria yang dianggap najis oleh bangsa Yahudi dalam sebuah perumpamaan. Ia bahkan menyembuhkan hamba seorang perwira Romawi, bangsa yang menjajah bangsaNya sendiri. Dalam silsilah Yesus dalam Injil Matius, kita mendapati tiga wanita bangsa kafir ada dalam silsilah tersebut. Tiga wanita tersebut adalah Tamar, Rahab dan Batseba.

Elohim Yang Maha Kuasa memilih sendiri di mana Ia akan lahir dan pilihanNya tersebut sangatlah jauh dari kemuliaan. Ia bisa lahir di keluarga kerajaan. Tetapi Ia memilih lahir dari sebuah keluarga yang sederhana. Ia meninggalkan kekuasaan dan kemuliaanNya demi umatNya. Ia lahir dalam kesederhanaan dan mati dalam kerendahan.

Berani.

Malam kelahiran Mesias di Betlehem membutuhkan keberanian yang luar biasa. Saya bertanya-tanya dalam hati, apa perasaan Bapa melihat Putra yang dikasihiNya lahir penuh darah untuk menghadapi dunia yang kejam dan dingin. Dibutuhkan keberanian bagi Elohim untuk melepaskan kuasa dan kemuliaanNya, lalu mengambil tempat di antara manusia yang menyambutNya dalam keraguan dan keangkuhan. Dibutuhkan keberanian lebih besar lagi untuk mengambil resiko turun ke planet yang berisi manusia-manusia yang brutal dan bebal, lahir dan besar di antara bangsa yang terkenal karena menolak dan membunuh nabi-nabi Tuhan. Saya berpikir ini adalah kenekatan luar biasa yang pernah dilakukan Elohim.

G.K. Chesterton dengan tepat menyatakan,”Sendirian di antara pengakuan iman, kekristenan telah menambahkan keberanian pada sifat-sifat Elohim.” Keberanian yang yang dimulai pada malam pertama Yesus dilahirkan dan tidak berakhir sampai pada peristiwa di bukit Golgota.

Sebuah sudut pandang lain.

Kitab Wahyu 12 menggambarkan peristiwa kelahiran Yesus dengan sudut pandang yang lebih dahsyat. Wahyu 12 menggambarkan Naga memimpin pertempuran besar di surga. Sementara itu, seorang wanita berpakaian matahari dan memakai mahkota 12 bintang menjerit kesakitan saat akan melahirkan. Tiba-tiba Naga menghadang dan bernafsu menelan Anak dari wanita tersebut. Pada saat-saat terakhir, si Anak direbut dan diselamatkan ke tempat yang aman. Perang penghabisan di alam semesta pun dimulai.

John Milton menggambarkan peristiwa ini dalam karya monumentalnya, Paradise Lost and Paradise Regained. Ia menjadikan surga dan neraka menjadi fokus utama, sementara bumi menjadi arena pertempuran antara pasukan Surga dengan pasukan Neraka. Kelahiran Yesus adalah tanda Penyerangan Besar dimulai, sebuah serangan penyusupan berani yang dilakukan Penguasa Kebenaran ke dalam tahta kejahatan.

Sebagai seorang Kristen, saya percaya bahwa kita hidup dalam dunia paralel. Dunia lain yang terdiri dari malaikat dan kekuatan jahat. Pada suatu malam di sebuah tempat di Betlehem, di sebuh kandang, kedua dunia ini menyatu dalam titik persimpangan yang dramatis. Elohim yang tidak mengenal awal dan akhir, memasuki ruang dan waktu. Elohim yang tidak kenal dengan batasan, masuk dalam tubuh daging yang amat terbatas. Yang Maha Kuasa menjadi sama dengan manusia.

Sebuah perenungan.

Bagi saya kisah Yesus, mulai dari kelahiran hingga kematian dan juga kebangkitanNya adalah kisah yang sangat luar biasa. Tetapi apakah kita sudah mendapat dengan benar apa makna dari kelahiran Yesus itu sendiri?

Dari empat tulisan yang sudah saya sampaikan ternyata kita belum memahami makna Natal sesungguhnya. Bertahun-tahun kita terjebak pada pola pemikiran Natal yang diisi dengan perayaan pesta yang meriah. Hanya berfokus pada pemuasan lahiriah kita. Padahal makna Natal adalah jauh lebih mulia dari hal-hal tersebut. Natal adalah peringatan bahwa Yang Maha Kuasa yang rendah hati dengan penuh keberanian hadir dalam dunia ini dalam kesederhanaan dan kasih. Natal adalah peringatan bahwa Elohim sendiri yang mendatangi manusia yang tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri dari kutuk dosa. Natal adalah bukti cinta gila Elohim kepada manusia. Ya, Ia seperti Bapa yang mempermalukan dirinya dengan berlari menyambut anaknya yang hilang dan sudah mengecewakan hatinya.

Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku. Barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhta-Ku, sebagaimana Akupun telah menang dan duduk bersama-sama dengan Bapa-Ku di atas takhta-Nya. (Wahyu 3:20-21)

SELAMAT NATAL 2011

TUHAN YESUS MEMBERKATI KITA SEMUA

MARANATHA!!!

Sabtu, 24 Desember 2011

Bukan Natal Yang Saya Kenal (Bagian Ketiga)


Sampailah saya pada sebuah pertanyaan, “apa yang saya dapat pelajari tentang Tuhan dari peristiwa kelahiran Yesus di Betlehem?”

Saya setuju dengan pendapat Phillip Yancey. Ia menyatakan bahwa peristiwa kelahiran Yesus membawa suatu penggambaran tentang Tuhan yang rendah hati, bisa didekati, sederhana dan berani. Gambaran-gambaran tersebut mungkin bagi anda adalah suatu gambaran yang tidak pantas bagi Tuhan Semesta Alam. Tapi itulah yang saya temui dalam kisah kelahiran Yesus.

Rendah hati.

Dalam pelajaran sejarah Yunani, kita belajar bagaimana gambaran tentang dewa-dewa Olympus. Mereka berhasil mengalahkan para Titan dan mengukuhkan kekuasaan mereka atas kehidupan manusia dan alam semesta. Tuhan melalui Yesus menampilkan sosok Tuhan yang rendah hati. Tuhan tidak datang melalui peristiwa alam yang dahsyat. Tidak ada awan hitam pekat dan kilat sabung-menyabung seperti yang dilihat oleh bangsa Israel di gunung Sinai. Elia, salah satu nabi besar Israel pernah mengalami situasi perjumpaan dengan Tuhan tidak melalui sebuah peristiwa spektakuler. “Maka firman TUHAN datang kepadanya, demikian: "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?" Jawabnya: "Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku." Lalu firman-Nya: "Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan TUHAN!" Maka TUHAN lalu! Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului TUHAN. Tetapi tidak ada TUHAN dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada TUHAN dalam gempa itu. Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa. Segera sesudah Elia mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya, lalu pergi ke luar dan berdiri di pintu gua itu. Maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?" (1 Raja-raja 19:9-13)

Ya, Tuhan ternyata hadir dalam angin sepoi-sepoi biasa, bukan melalui angin ribut, gempa bumi, ataupun api. Rasul Paulus memahami hal ini sehingga dengan tepat menulis bahwa Tuhan melalui Yesus, “telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Filipi 2:7). Melalui Yesus-lah, orang-orang Kristen mengenal Tuhannya yang rendah hati.

Orang Yahudi mempercayai bahwa pada suatu saat Mesias yang dijanjikan Tuhan akan datang menyelamatkan mereka. Alam pikiran mereka tentang Mesias larut dalam sosok Daud yang perkasa dan Salomo yang berwibawa. Ya, Mesias yang diharapkan mereka adalah Mesias yang membawa mereka kepada kemenangan dan kejayaan. Tapi Mesias yang muncul, mengenakan kemuliaan dalam bentuk yang lain, kemuliaan dalam kerendahan hati. Sosok Tuhan yang perkasa dalam kitab-kitab sejarah bangsa Israel ternyata hadir dalam dunia melalui sosok bayi ringkih yang menangis dan tergantung sepenuhnya kepada perlindungan seorang gadis muda. Sudah tentu orang-orang Yahudi yang diwakili kaum Farisi, Saduki dan ahli-ahli Taurat menolak Yesus sebagai Mesias mereka.

Beberapa bulan yang lalu, Indonesia mendapat kunjungan kenegaraan dari presiden Amerika serikat, Barack Obama. Dalam kunjungannya tersebut, Obama dikawal oleh satuan pengawal presiden, Secret Service dan didukung oleh armada tempur lengkap yang beroperasi di Asia Pasifik yang siap diterjunkan apabila terjadi peristiwa yang membahayakan keselamatan presiden Obama. Kunjungan Obama ke Indonesia diperkirakan menelan biaya puluhan jutaan dolar. Sebuah kunjungan yang mahal dan spektakuler.

Sebaliknya, kunjungan Tuhan ke dalam dunia ciptaanNya mengambil tempat di kandang hewan, tanpa perlindungan malaikat, bahkan tempat berbaring Sang Raja hanyalah sebuah palungan. Tetapi peristiwa tersebut membagi periode sejarah dan penanggalan menjadi dua, BC (Before Christ) dan AD (Anno Domine). Lebih penting lagi bahwa kunjungan Tuhan ke dalam dunia dan diakhiri dengan peristiwa Golgota membawa keselamatan bagi umatNya. Kutuk dosa dipatahkan di kayu salib. Kunjungan Tuhan membawa dampak lebih besar bagi kehidupan manusia.

Tuhan juga tidak mengundang para pejabat tinggi atau orang-orang berpengaruh dalam merayakan kelahiranNya. Dalam Injil, berita kelahiran tersebut disampaikan para malaikat kepada para gembala yang sedang melakukan tugasnya menjaga domba-domba kepunyaan orang lain. Ya, berita agung itu disampaikan kepada gembala-gembala miskin, buta huruf dan bahkan nama-nama mereka tidak tercatat.

Dalam struktur sosial masyarakat Yahudi saat itu, posisi para gembala dikelompokkan ke dalam “orang-orang tak bertuhan alias kafir”. Dalam Bait Tuhan, tempat mereka hanyalah sampai pada pelataran luar saja. Tetapi justru merekalah yang dipilih Tuhan untuk membantu merayakan kelahiranNya. Sesudah dewasa, Yesus dikenal orang-orang sebagai “sahabat para pendosa”.

Yesus menghadirkan citra Tuhan yang rendah hati kepada manusia.

Bisa didekati.

Dalam banyak ritual religius, rasa takut adalah perasaan utama ketika seseorang menyembah Tuhannya. Bangsa Yahudi pun seperti itu, “Seluruh bangsa itu menyaksikan guruh mengguntur, kilat sabung-menyabung, sangkakala berbunyi dan gunung berasap. Maka bangsa itu takut dan gemetar dan mereka berdiri jauh-jauh.” Mereka tidak berani masuk begitu saja ke dalam ruang-ruang tertentu dalam Bait Tuhan. Mereka tidak berani untuk menyebut nama Tuhan. Jika mereka menulis nama Tuhan dalam kitab, maka mereka akan mematahkan alat tulis tersebut.

Apakah seorang bayi mungil dan lemah di palungan adalah sosok yang menakutkan? Saya rasa tidak. Melalui Yesus, Tuhan menemukan cara terbaik untuk berhubungan dengan umatNya tanpa melibatkan rasa takut.

Melalui sejarah perjalan bangsa Israel, Tuhan paham benar bahwa rasa takut tidak pernah memberikan hasil yang baik dalam ketaatan dan kesetiaan. Perjanjian Lama mengisahkan bangsa Israel yang berulang kali jatuh dalam berbagai dosa. Jauh sebelum kelahiran Yesus, nabi-nabi telah menubuatkan adanya sebuah perjanjian yang baru yang akan membuat umat Tuhan akan menyembahNya bukan dalam rasa takut. Sebuah pendekatan yang tidak menekankan jurang yang lebar antara Tuhan dengan manusia, tetapi justru menjembatani keterpisahan tersebut.

Melalui Injil kita disuguhkan adegan Tuhan Yang Maha Kuasa mengambil bentuk dalam ciptaan. Tuhan seperti pembuat naskah yang menjadi karakter dalam naskahnya, atau pelukis yang menjadi sebuah garis dalam lukisannya. Tuhan menulis kisah baru dan turut serta dalam kisah tersebut, dalam panggung sejarah yang sesungguhnya. Firman itu telah menjadi daging.

Dua gambaran Tuhan yang lain akan saya hadirkan dalam tulisan saya selanjutnya.

~ bersambung

Sabtu, 17 Desember 2011

Bukan Natal Yang Saya Kenal (Bagian Kedua)


Seperti yang telah saya jelaskan dalam bagian pertama tulisan saya. Alam pikiran kita tentang perayaan natal terbentuk melalui sebuah konsep perayaan yang damai, manis dan hangat. Natal adalah perayaan yang penuh dengan keceriaan dan kebahagiaan. "Perayaan natal saat ini sangat jauh dari aroma skandal" tulis Yancey. Kita bahkan mungkin lupa bahwa kelahiran di kandang di kota Betlehem kelak akan sampai pada episode klimaks yang tragis di Golgota.

Dalam Injil Lukas, Simeon, seorang yang saleh dan benar di hadapan Tuhan, dengan jelas dapat melihat maksud Tuhan melalui kelahiran Yesus. "Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan.” Simeon mendahului nubuatannya dengan sebuah perkataan yang indah dan penuh pengharapan, tetapi kalimat terakhir dari nubuatan tersebut jelas menunjukkan bahwa tidak akan lama lagi akan terjadi konflik besar dalam kehidupan Yesus. Sebuah kekuatan baru telah datang untuk meruntuhkan kekuasaan dunia.

Saya suka dengan penggambaran C.S. Lewis dalam Mere Christianity tentang kelahiran Yesus (saya sarankan kepada anda yang ingin mempelajari iman Kristen yang disajikan dalam bentuk ilmiah agar membeli dan membaca buku terkenal tsb) . Lewis menulis, “Kekristenan adalah kisah tentang bagaimana sang Raja yang benar telah turun ke dalam dunia, Anda bisa mengatakan bahwa Ia telah turun dalam penyamaran, dan sedang memanggil kita semua untuk mengambil bagian dalam kampanye besar sabotase.”

Yesus lahir pada masa kekuasaan Kaisar Augustus. Nama aslinya adalah Octavius. Ia adalah keponakan Julius Caesar, orang yang membangkitkan kembali pemerintahan monarki tetapi pada akhirnya mati terbunuh dalam sebuah plot. Pada mulanya banyak yang meragukan akan kemampuan Octavius. Tetapi dengan cerdik ia membangun aliansi dengan Markus Antonius. Aliansi ini berhasil memburu dan menghancurkan kelompok yang mendalangi pembunuhan Caesar. Imperium Romawi terbagi dua, Octavius memerintah Roma dan Eropa, Markus Antonius memerintah jajahan Roma di asia, dengan mengambil kedudukan di Mesir. Segera kemudian timbul perselisihan di antara mereka. Cleopatra, Ratu jelita Mesir memanfaatkan hal tersebut dan berhasil membujuk Markus Antonius untuk melawan Octavius. Peperangan besar pun terjadi. Tetapi armada Roma di bawah pimpinan Octavius berhasil mengalahkan Markus Antonius. Cleopatra dan Markus Antonius pun memilih bunuh diri. Octavius pun menguasa dunia dan diangkat sebagai kaisar Romawi dengan nama baru Augustus Caesar.

Pemerintahan Augustus dijalankan dengan cerdik yang membuat roda pemerintahan pun berjalan dengan stabil. Kekaisaran mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa Augustus adalah dewa dan melaksanakan ritual penyembahan. Harapan masyarakat dunia akan pemerintahan yang damai dan stabil tampaknya akan segera tercapai. Uniknya, kata gospel sendiri sebenarnya adalah kampanye pemerintahan Augustus. Pemerintahan yang diharapkan akan berlangsung abadi. Inilah gospel atau kabar baik menurut versi Augustus Caesar.

Tepat pada masa inilah, di sebuah sudut terpencil dan kumuh dalam kekaisaran Augustus, lahirlah seorang bayi yang bernama Yesus. Para pencatat sejarah melewatkan peristiwa ini. Kita hanya mengetahuinya dari empat kitab Injil yang ditulis puluhan tahun setelah kenaikanNya ke Surga. Para penulis keempat Injil meminjam kata gospel untuk memberitakan sebuah pemerintahan dunia baru yang berbeda dengan pemerintahan dunia. Para penulis biografi mula-mula Yesus ini menyebut Augustus hanya sebagai referensi untuk menyatakan tanggal sensus yang memastikan Yesus lahir di Betlehem. Kenapa harus Betlehem? Karena nubuatan nabi-lah yang menyebutkan bahwa Mesias akan lahir di kota Daud, Betlehem (Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala. ~Mikha 5:1)

Kembali kepada tujuan penulisan artikel ini, bahwa kita mewarisi tradisi natal seperti yang telah saya sebutkan pada tulisan saya sebelumnya. Sebuah natal yang damai dan hangat. Dalam Injil kita akan melihat kontradiksi dari tradisi yang selama ini kita pegang.

Dalam tulisan terdahulu, saya menuliskan bahwa kehamilan Maria adalah kehamilan yang tidak wajar dalam komunitas Yahudi. Maria belum mempunyai suami sah. Ia hanya baru bertunangan dengan Yusuf. Bahkan Yusuf pun ingin memutuskan pertunangan tersebut tetapi akhirnya tidak jadi karena malaikat Tuhan mendatangi Yusuf dalam mimpi untuk menjelaskan kehamilan Maria. Maria sendiri akhirnya harus “hijrah” ke rumah salah satu familinya di sebuah kota di Yehuda, rumah Zakharia dan Elizabeth yang ternyata baru saja mengalami mukjizat besar. Mukjizat yang dialami oleh Elizabeth membawa berkat dan kehormatan bagi keluarganya, sedangkan Maria harus menutup rapat-rapat mukjizat yang dialaminya. Hal ini terus berlanjut dalam kisah hidup Yesus sendiri. Yesus banyak melakukan mukjizat di mana orang-orang yang mendapat mukjizat tersebut memperoleh kesembuhan fisik dan pengampunan, tetapi Ia sendiri dituduh melakukan penipuan, praktek sihir, pelanggaran hukum Taurat, bahkan dituduh melakukan kerjasama dengan iblis untuk melakukan mukjizat-mukjizat tersebut. Dalam hukum Yahudi, tuduhan-tuduhan itu cukup untuk membuat Yesus mendapat vonis dirajam hingga mati. Kita dapat melihat bahwa tradisi Natal yang kudus dan suci yang selama ini kita ketahui ternyata tidak dialami oleh Maria, Yusuf dan tentu saja Yesus yang masih dalam rahim Maria. Janin Yesus yang sejatinya dikandung melalui Roh Kudus adalah sebuah skandal kesucian bagi komunitasnya.

Menjadi pelarian dan pengungsi!

Dalam Injil Lukas pasal 2:1, Kaisar Agustus memerintahkan untuk melakukan pendaftaran seluruh orang di wilayah kekuasaan Romawi, dalam hal ini termasuk wilayah bangsa Israel. Mengenai sensus ini, bangsa Israel punya pengalaman pahit. Hal ini terjadi pada masa akhir kekuasaan Daud sebagai Raja Israel (2 Samuel 24:1-17) . Ketika itu, Daud mengadakan sensus bagi seluruh rakyat kerajaan Israel. Tetapi akhirnya Daud sadar bahwa apa yang ia lakukan salah. Firman Tuhan datang melalui nabi Gad, pelihat Daud. Tuhan memberikan tiga pilihan kepada Daud. Raja Israel itu pun memilih untuk menyandarkan sepenuhnya kepada pilihan Tuhan. Maka Tuhan mendatangkan penyakit sampar kepada seluruh orang Israel dan tewaslah sekitar 70 ribu orang Israel. Pengalaman masa lalu yang pahit ini membuat orang Israel semakin membenci penguasa Romawi yang mengeluarkan kebijakan sensus.

Maklumat sensus ini membuat orang-orang Israel harus kembali ke tempat kelahiran mereka. Yusuf pun kembali ke tanah leluhurnya di Betlehem bersama Maria dan Yesus yang ada dalam rahim Maria. Bukan perjalanan yang mudah tentunya bagi Yusuf dan Maria yang saat itu sedang hamil besar. Sebuah film yang berjudul Nativity Story dengan jelas menggambarkan perjalanan Yusuf dan Maria ke Betlehem adalah sebuah perjalanan yang tidak mudah. Jarak antara Nazaret dan Betlehem sangat jauh. Yusuf dan Maria harus melewati jalanan yang tidak ramah. Kondisi jalanan saat itu tidak seperti sekarang. Rute Nazaret menuju Betlehem adalah rute yang berbahaya. Perbukitan bebatuan, gerombolan pemberontak Yahudi dan perampok berkeliaran di rute jalan tersebut. Tetapi Injil menceritakan bahwa Yusuf dan Maria sampai juga di Betlehem. Maria pun tiba pada masa untuk melahirkan. Yusuf pun mencari tempat penginapan tetapi tidak berhasil. Akhirnya hanyalah sebuah kandang yang tersedia sebagai tempat Maria untuk melahirkan. Sang Bayi yang baru dilahirkan hanyalah diletakkan dalam sebuah palungan, tempat menaruh jerami untuk makanan hewan. Sang Penguasa Alam Semesta, pencipta langit dan bumi, terbaring dalam sebuah tempat yang jauh dari kata layak. Saya membayangkan dan jujur saja, saya merinding untuk membayangkannya, bahwa Sang Penguasa tersebut bahkan harus bersusah payah untuk belajar menggunakan paru-parunya untuk bernapas.

Sementara itu di Yerusalem, Raja Herodes Agung kedatangan tiga orang Majus dari timur. Orang-orang Majus itu bermaksud untuk datang menyembah raja Yahudi yang baru lahir. Herodes dan seluruh pegawai istananya terkejut. Siapa raja Yahudi yang baru dilahirkan tersebut? Herodes mengumpulkan para imam dan ahli Taurat dan menanyakan di mana Mesias akan dilahirkan. Mereka menyampaikan sebuah nubuatan dalam kitab Mikha yang menyatakan bahwa Mesias akan dilahirkan di kota Daud, Betlehem. Maka pergilah tiga orang Majus itu ke Betlehem. Sementara itu, Herodes yang khawatir akan nubuatan itu memerintahkan kepala pasukannya untuk melakukan tugas penting. Herodes demi mengamankan kekuasaannya dan stabilitas kerajaan memilih untuk membunuh bayi-bayi di Betlehem. Peran yang pernah dilakukan oleh Firaun kembali dilakukan oleh Herodes ribuan tahun kemudian.

Malaikat Tuhan mendatangi Yusuf dalam mimpi menyuruhnya untuk segera menyingkir dari Betlehem menuju Mesir. Garry Wills dalam bukunya yang berjudul What Jesus Meant, menuliskan : “Lengkaplah kehidupan (Yesus) yang tercerabut dari keadaan dan lingkungan normal. Yesus tidak hanya lahir sebagai orang yang tertindas, diusir dari kota tempat tinggal orangtua-Nya dan tidak diterima di penginapan umum, sekarang sosok yang tertindas, yang tidak memiliki rumah, yang tidak diterima itu pun harus menjadi buronan, terusir semakin jauh dari sanak keluarga, kenyamanan, ke pembuangan yang mengingatkan kembali akan penjajahan dan pengembaraan bangsa Yahudi.” Phillip Yancey menyatakan, “Yesus Kristus memasuki dunia di tengah pergolakan dan teror, dan menghabiskan masa bayi-Nya dengan bersembunyi di Mesir sebagai pengungsi.” Bertahun-tahun kemudian ketika Yesus dalam pelayanannya dalam dunia mengatakan, Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya” (Luk. 9:58).

Malam kelahiran Yesus bukanlah malam yang damai dan hangat. Pada malam itu, “Dengar! Di Rama terdengar ratapan, tangisan yang pahit pedih: Rahel menangisi anak-anaknya, ia tidak mau dihibur karena anak-anaknya, sebab mereka tidak ada lagi.” (Yeremia 31:15)

~ bersambung

Rabu, 14 Desember 2011

Bukan Natal Yang Saya Kenal (Bagian Pertama)

Prolog

Kurang dari dua minggu lagi umat Kristen di seluruh dunia akan merayakan hari kelahiran Yesus Kristus atau singkatnya merayakan Natal. Saya sebagai seorang kristiani pun, bersama dengan keluarga saya, juga turut merayakan Natal. Di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, suasana perayaan tersebut bahkan sudah sangat kentara. Pohon natal dari cemara, lampu-lampu hias, Santa Claus, dan berbagai ornamen khas Natal sudah menghiasi tiap sudut kota maupun pusat perbelanjaan. Lagu-lagu Natal pun mulai disenandungkan, baik oleh orang2 biasa sampai penyanyi terkenal. Satu lagi yang khas dalam perayaan Natal adalah kartu ucapan Natal. Walaupun saat ini adalah era e-mail dan jejaring sosial, kartu natal tetap memainkan peranan penting untuk menyampaikan salam Natal kepada orang tua, kekasih, atau sahabat. Biasanya gambar-gambar tema dalam kartu-kartu Natal tersebut menampilkan sebuah pemandangan yang teduh dan damai. Dua malaikat kecil yang saling bercanda, sebuah kota yang bersalju di mana berlalu - lalang kereta2 kuda, satu keluarga suci yang kepala mereka ditudungi oleh Halo (lingkaran cahaya) yang berwarna keemasan seperti mahkota, dll. Semuanya menyampaikan pesan yang sama, Natal yang damai, suci dan penuh kasih.

Tetapi apakah Natal yang seperti itu yang dialami oleh Maria, Yusuf dan Bayi dalam kandungan Maria, 2000 tahun yang lalu di kota kecil Betlehem? Natal yang damai, suci dan penuh kasih.

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah buku yang sangat bagus (paling tidak untuk saya). Buku ini ditulis oleh Phillip Yancey, seorang editor umum di majalah Christianity Today. Judul buku tersebut adalah The Jesus I Never Knew. Pada bab 2 dalam buku tersebut, Yancey menyampaikan sebuah view yang berbeda tentang peristiwa kelahiran Yesus Kristus. Sebuah view yang akan saya bagikan dan tentunya juga termasuk di dalamnya hasil perenungan saya, seorang jemaat Kristen biasa.


Sebuah kabar yang mengguncang!

Peristiwa kelahiran Yesus Kristus tercatat dalam 2 Injil, Matius dan Lukas. Dalam Injil Lukas kita memperoleh rangkaian cerita yang cukup lengkap yang menceritakan kelahiran Yesus Kristus. Didahului dengan kedatangan Malaikat Gabriel yang hendak menyampaikan kabar dari Tuhan. Respon Maria sangat manusiawi, “Maria terkejut mendengar perkataan itu...” (Lukas 1:29) sehingga Gabriel mengatakan “Jangan takut, hai Maria...” (Lukas 1:30) untuk menenangkan Maria.

Saya cukup familier dengan sebuah karya lukisan terkenal yang menggambarkan situasi perjumpaan Maria dengan Gabriel. Dalam lukisan tersebut, Maria terlihat begitu damai, agak tertunduk di hadapan Gabriel. Seakan-akan kabar dari Tuhan yang disampaikan melalui Gabriel kepada dirinya adalah sebuah berkat yang begitu indah. Tetapi apakah kabar tersebut menghasilkan berkat yang indah bagi Maria dan Yusuf dan juga seluruh keluarga Maria dan Yusuf?

Gabriel berkata, “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Elohim Yang Mahatinggi. Dan Tuhan akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhurNya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan KerajaanNya tidak akan berkesudahan." (Lukas 1:31-33)

Setelah mendengar kabar yang luar biasa itu Maria meresponnya dengan sebuah jawaban, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami!” Alkitab versi NIV (New International Version) menulis : “How will this be,” Mary asked the Angel, “since I am a virgin?”. Tampaknya Maria tahu bahwa kabar tersebut bukanlah kabar baik. Kabar tersebut dapat membahayakan hidupnya dan membuat aib bagi keluarganya dan juga tunangannya, Yusuf.

Kita hidup di masa modern, di mana berita tentang gadis-gadis remaja yang kehilangan keperawanannya, bahkan sampai hamil di luar nikah, sangat sering dijumpai. Belum hilang dalam ingatan saya, peristiwa seorang gadis pelajar SMU yang melahirkan di toilet sekolahnya. Selama 9 bulan ia dengan baik menyembunyikan kehamilannya. Kemudian juga dengan berita tentang survey yang diadakan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang perempuan yang menyatakan bahwa sekitar 70% gadis pelajar SMP di Jakarta sudah hilang keperawanan. Sebuah kabar yang sungguh luar biasa menyedihkan. Tetapi inilah kenyataannya, kita hidup di tengah-tengah pergaulan yang sangat bebas hingga melabrak semua batasan etika, yang sekitar 30 tahun lalu sangat diagungkan.

Sesungguhnya engkau akan mengandung dan melahirkan... “. Tidak ada yang salah dengan kata mengandung dan melahirkan. Bukankah kedua kata itu adalah suatu hal yang sangat diharapkan oleh sebuah pasangan suami istri yang menikah, mengandung dan melahirkan seorang anak. Tetapi tidak bagi Maria dan Yusuf. Mereka belum menikah, mereka baru saja bertunangan. Apa yang akan dialami oleh Maria, yaitu mengandung dan melahirkan, akan membawa akibat fatal. Hukum Yahudi mengatur bahwa wanita yang hamil di luar nikah akan dianggap sebagai pezinah, hukumannya adalah rajam hingga mati. Melihat hukuman yang akan ia terima, wajar saja Maria menganggap kabar dari Gabriel adalah kabar yang mengguncangkan.

Dalam Injil Matius, Yusuf bermaksud menceraikan Maria dengan diam-diam dan tidak menuntut demi nama baik Maria. Tetapi malaikat Tuhan mendatangi Yusuf dalam mimpi dan menjelaskan mengapa Maria mengandung, "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.” (Matius 1:20). Yusuf pun tidak jadi menceraikan Maria. Kemudian Maria pun akhirnya memilih untuk taat kepada kabar yang disampaikan oleh Gabriel dan menjawab, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Yancey menulis dalam bukunya, Jesus I Never Knew, bahwa seringkali karya Tuhan datang dengan dua sisi, sukacita besar dan penderitaan berat. Maria dalam kesederhanaannya menerima keduanya. Tak pelak lagi, ia adalah orang pertama yang menerima Yesus apa adanya, tanpa mempedulikan harga yang harus dibayarnya.

Maria kemudian pergi ke rumah kerabatnya di sebuah kota di Yehuda. Kerabatnya ini adalah Elizabeth dan Zakaria yang tidak lama sebelumnya juga mengalami mukjizat dari Tuhan. Zakaria yang sedang menjalankan tugas keimamannya didatangi oleh malaikat yang memeberitahukan kabar bahwa istrinya akan melahirkan anak laki-laki. Masalahnya, ia dan Elizabeth sudah tua dan Elizabeth pun mandul. Ketidakpercayaan Zakharia membuat dirinya bisu hingga kelahiran putranya. Setelah saya membaca hal ini dalam Alkitab, saya berpikir mungkin alasan inilah yang membuat Maria pergi mendatangi Elizabet. Maria berpikir mungkin Elizabet dapat mengerti dengan apa yang dialami oleh dirinya. Bukankah Elizabet juga baru saja mendapat mukjizat yang secara logika medis tidak mungkin terjadi? Dan benar, Elizabeth percaya kepada Maria dan turut bergembira, “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana." (Lukas 1:42-45)

Yancey kembali menulis dalam bukunya, “pertemuan antara Elizabeth dan Maria memperlihatkan kontras antara kedua wanita tersebut. Seluruh desa bersukacita tentang rahim Elizabeth yang disembuhkan, sedangkan Maria harus menyembunyikan rapat-rapat mukjizat yang dialaminya.” Kelahiran Yohanes Pembaptis dirayakan dalam sebuah pesta tradisional khas Yahudi, sedangkan Yesus harus lahir dalam sebuah kandang hewan, tanpa kerabat atau nyanyian-nyanyian penduduk desa.

Saya membayangkan bahwa Maria dengan perut yang semakin membesar harus berjalan di tengah komunitasnya yang mempergunjingkan keadaan kehamilannya yang tidak jelas. Malcolm Muggeridge membandingkan keadaan Maria pada saat itu dengan dunia modern, “Sangat tidak mungkin bahwa dengan keadaan seperti itu, Yesus akan dibiarkan untuk lahir pada masa sekarang. Kehamilan Maria yang di luar pernikahan dan tidak jelasnya siapa pria yang menghamili dirinya, akan menjadi sebuah kasus yang sangat dianjurkan untuk dilakukan aborsi. Kemudian ucapan Maria bahwa ia mengandung karena Roh Kudus turun atas dirinya akan membuat dirinya mendapat perawatan mental.”

Dalam hal ini, timbul pertanyaan dalam diri saya. Mengapa Tuhan yang Maha Kuasa memilih prosesi kedatanganNya melalui kelahiran dalam situasi yang memalukan dan sangat tidak manusiawi? Jawabannya akan kita temukan dalam tulisan yang akan saya bagi dalam beberapa part. Tetapi tentu saja tulisan ini bukanlah jawaban mutlak dari suatu kebenaran. Semuanya hanyalah hasil dari perenungan saya ketika saya membaca kembali kisah kelahiran Yesus. Mungkin akan terlihat sedikit dramatisasi, tetapi itulah yang saya rasakan ketika saya membaca ulang kisah kelahiran Yesus dalam Injil, dan bukankah kita semua suka dengan kisah2 yang dramatis?

~ bersambung...