Sabtu, 24 Desember 2011

Bukan Natal Yang Saya Kenal (Bagian Ketiga)


Sampailah saya pada sebuah pertanyaan, “apa yang saya dapat pelajari tentang Tuhan dari peristiwa kelahiran Yesus di Betlehem?”

Saya setuju dengan pendapat Phillip Yancey. Ia menyatakan bahwa peristiwa kelahiran Yesus membawa suatu penggambaran tentang Tuhan yang rendah hati, bisa didekati, sederhana dan berani. Gambaran-gambaran tersebut mungkin bagi anda adalah suatu gambaran yang tidak pantas bagi Tuhan Semesta Alam. Tapi itulah yang saya temui dalam kisah kelahiran Yesus.

Rendah hati.

Dalam pelajaran sejarah Yunani, kita belajar bagaimana gambaran tentang dewa-dewa Olympus. Mereka berhasil mengalahkan para Titan dan mengukuhkan kekuasaan mereka atas kehidupan manusia dan alam semesta. Tuhan melalui Yesus menampilkan sosok Tuhan yang rendah hati. Tuhan tidak datang melalui peristiwa alam yang dahsyat. Tidak ada awan hitam pekat dan kilat sabung-menyabung seperti yang dilihat oleh bangsa Israel di gunung Sinai. Elia, salah satu nabi besar Israel pernah mengalami situasi perjumpaan dengan Tuhan tidak melalui sebuah peristiwa spektakuler. “Maka firman TUHAN datang kepadanya, demikian: "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?" Jawabnya: "Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku." Lalu firman-Nya: "Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan TUHAN!" Maka TUHAN lalu! Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului TUHAN. Tetapi tidak ada TUHAN dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada TUHAN dalam gempa itu. Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa. Segera sesudah Elia mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya, lalu pergi ke luar dan berdiri di pintu gua itu. Maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: "Apakah kerjamu di sini, hai Elia?" (1 Raja-raja 19:9-13)

Ya, Tuhan ternyata hadir dalam angin sepoi-sepoi biasa, bukan melalui angin ribut, gempa bumi, ataupun api. Rasul Paulus memahami hal ini sehingga dengan tepat menulis bahwa Tuhan melalui Yesus, “telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Filipi 2:7). Melalui Yesus-lah, orang-orang Kristen mengenal Tuhannya yang rendah hati.

Orang Yahudi mempercayai bahwa pada suatu saat Mesias yang dijanjikan Tuhan akan datang menyelamatkan mereka. Alam pikiran mereka tentang Mesias larut dalam sosok Daud yang perkasa dan Salomo yang berwibawa. Ya, Mesias yang diharapkan mereka adalah Mesias yang membawa mereka kepada kemenangan dan kejayaan. Tapi Mesias yang muncul, mengenakan kemuliaan dalam bentuk yang lain, kemuliaan dalam kerendahan hati. Sosok Tuhan yang perkasa dalam kitab-kitab sejarah bangsa Israel ternyata hadir dalam dunia melalui sosok bayi ringkih yang menangis dan tergantung sepenuhnya kepada perlindungan seorang gadis muda. Sudah tentu orang-orang Yahudi yang diwakili kaum Farisi, Saduki dan ahli-ahli Taurat menolak Yesus sebagai Mesias mereka.

Beberapa bulan yang lalu, Indonesia mendapat kunjungan kenegaraan dari presiden Amerika serikat, Barack Obama. Dalam kunjungannya tersebut, Obama dikawal oleh satuan pengawal presiden, Secret Service dan didukung oleh armada tempur lengkap yang beroperasi di Asia Pasifik yang siap diterjunkan apabila terjadi peristiwa yang membahayakan keselamatan presiden Obama. Kunjungan Obama ke Indonesia diperkirakan menelan biaya puluhan jutaan dolar. Sebuah kunjungan yang mahal dan spektakuler.

Sebaliknya, kunjungan Tuhan ke dalam dunia ciptaanNya mengambil tempat di kandang hewan, tanpa perlindungan malaikat, bahkan tempat berbaring Sang Raja hanyalah sebuah palungan. Tetapi peristiwa tersebut membagi periode sejarah dan penanggalan menjadi dua, BC (Before Christ) dan AD (Anno Domine). Lebih penting lagi bahwa kunjungan Tuhan ke dalam dunia dan diakhiri dengan peristiwa Golgota membawa keselamatan bagi umatNya. Kutuk dosa dipatahkan di kayu salib. Kunjungan Tuhan membawa dampak lebih besar bagi kehidupan manusia.

Tuhan juga tidak mengundang para pejabat tinggi atau orang-orang berpengaruh dalam merayakan kelahiranNya. Dalam Injil, berita kelahiran tersebut disampaikan para malaikat kepada para gembala yang sedang melakukan tugasnya menjaga domba-domba kepunyaan orang lain. Ya, berita agung itu disampaikan kepada gembala-gembala miskin, buta huruf dan bahkan nama-nama mereka tidak tercatat.

Dalam struktur sosial masyarakat Yahudi saat itu, posisi para gembala dikelompokkan ke dalam “orang-orang tak bertuhan alias kafir”. Dalam Bait Tuhan, tempat mereka hanyalah sampai pada pelataran luar saja. Tetapi justru merekalah yang dipilih Tuhan untuk membantu merayakan kelahiranNya. Sesudah dewasa, Yesus dikenal orang-orang sebagai “sahabat para pendosa”.

Yesus menghadirkan citra Tuhan yang rendah hati kepada manusia.

Bisa didekati.

Dalam banyak ritual religius, rasa takut adalah perasaan utama ketika seseorang menyembah Tuhannya. Bangsa Yahudi pun seperti itu, “Seluruh bangsa itu menyaksikan guruh mengguntur, kilat sabung-menyabung, sangkakala berbunyi dan gunung berasap. Maka bangsa itu takut dan gemetar dan mereka berdiri jauh-jauh.” Mereka tidak berani masuk begitu saja ke dalam ruang-ruang tertentu dalam Bait Tuhan. Mereka tidak berani untuk menyebut nama Tuhan. Jika mereka menulis nama Tuhan dalam kitab, maka mereka akan mematahkan alat tulis tersebut.

Apakah seorang bayi mungil dan lemah di palungan adalah sosok yang menakutkan? Saya rasa tidak. Melalui Yesus, Tuhan menemukan cara terbaik untuk berhubungan dengan umatNya tanpa melibatkan rasa takut.

Melalui sejarah perjalan bangsa Israel, Tuhan paham benar bahwa rasa takut tidak pernah memberikan hasil yang baik dalam ketaatan dan kesetiaan. Perjanjian Lama mengisahkan bangsa Israel yang berulang kali jatuh dalam berbagai dosa. Jauh sebelum kelahiran Yesus, nabi-nabi telah menubuatkan adanya sebuah perjanjian yang baru yang akan membuat umat Tuhan akan menyembahNya bukan dalam rasa takut. Sebuah pendekatan yang tidak menekankan jurang yang lebar antara Tuhan dengan manusia, tetapi justru menjembatani keterpisahan tersebut.

Melalui Injil kita disuguhkan adegan Tuhan Yang Maha Kuasa mengambil bentuk dalam ciptaan. Tuhan seperti pembuat naskah yang menjadi karakter dalam naskahnya, atau pelukis yang menjadi sebuah garis dalam lukisannya. Tuhan menulis kisah baru dan turut serta dalam kisah tersebut, dalam panggung sejarah yang sesungguhnya. Firman itu telah menjadi daging.

Dua gambaran Tuhan yang lain akan saya hadirkan dalam tulisan saya selanjutnya.

~ bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar