Rabu, 29 Juli 2009

Public Enemies (2009)

PUBLIC ENEMIES




















Director : Michael Mann

Cast :

1. Johnny Depp as John Dillinger
2. Christian Bale as Melvin Purvis
3. Marrion Cotilard as Billie Frechette


Sebuah persembahan dr sutradara Michael Mann. Film yang diangkat dari novel berjudul "Public Enemies : America's Greatest Crime Wave and The Birth of FBI" karya Bryan Burroughs. Sesuai dengan novelnya, film ini menceritakan kehidupan perampok bank legendaris Amerika Serikat pada era Depresi Besar tahun 1930-an, John Dillinger. Pada masa2 itu keadaan Amerika Serikat memang berada pada titik yang paling bawah sehingga menyuburkan aksi2 kejahatan terorganisir. Salah satu dari mereka yang paling berbahaya adalah kelompok John Dillinger. Kelompok ini dikenal paling "licin" dalam menjalankan aksi perampokan bank. Karena tindakan mereka yang semakin menjadi-jadi, sebuah Biro Investigasi Federal dibentuk utk membekuk kelompok penjahat ini sekaligus memberangus kejahatan2 terorganisir lainnya.


Film ini dibuka dengan aksi Dillinger dalam usaha membebaskan rekan2nya dari penjara Indiana. Pelarian ini berhasil dan mereka pergi meminta perlindungan mafia setempat di Chicago. Sementara itu, di tempat lain, seorang agen yang bernama Melvin Purvis, sedang memburu salah satu penjahat yang sedang diburu2, yaitu Pretty Boy Floyd. Karena menolak menyerahkan diri, Pretty Boy Floyd terpaksa ditembak. Keberhasilan ini membuat Melvin ditunjuk oleh J. Edgar Hoover (direktur biro investigasi) utk memburu John Dillinger dan menangkapnya. Secara garis besar film ini menceritakan adu strategi antara Dillinger dan Purvis. Walaupun begitu, film ini juga menceritakan kisah cinta Dillinger dengan Billie Frechette.


Akting para pemain Public Enemies berjalan dengan baik. Mereka bisa memerankan perannya masing2 dengan baik. Khusus utk Bale, ia berhasil melepaskan image "bruce wayne" yang kadung melekat erat pada dirinya dan memerankan seorang Melvin Purvis dengan cemerlang. Marion pun berhasil mencuri perhatian. Walaupun harus di kelilingi oleh dua aktor yang sedang laris manis, Depp dan Bale, Marion bs mengimbangi akting kedua pemain tersebut.


Kelebihan lain dari film ini adalah setting lokasi film dan kualitas gambar. Film ini mengambil setting di kota2 yang memang masih memelihara gedung2 bersejarah era 30-an, seperti Wisconsin, Illinois, dan kota yang dulu dikenal sebagai "surganya" gangster dan mafia, Chicago. Kualitas gambar yang dihasilkan juga begitu apik sehingga kita bs merasakan suasana Amerika Serikat pada tahun 30-an. Adegan aksinya pun digarap dengan baik oleh Mann. Suasana gun fight antara kelompok Dillinger dgn agen2 biro terasa sangat nyata.


Walaupun begitu, film ini pada dasarnya adalah bukan film yang diwanai adegan tembak2an dari awal sampai akhir. Jangan tertipu oleh trailer dari film ini. Tetapi walaupun begitu, menonton Public Enemies, sungguh tidak terasa membosankan. Dialog2 yang dibangun tidak akan membuat anda harus berpikir keras tetapi tidak murahan. Mann berhasil menjaga situasi film tersebut sehingga membuat saya tidak berpikir sedikit pun utk mengalihkan pandangan saya dr film tersebut. Jadi buat anda2 sekalian yang menginginkan adegan aksi dari awal sampai akhir saya sarankan utk tidak menonton film ini. Tetapi jika anda ingin mengetahui mengapa Dillinger sampai dijuluki Public Enemies No. 1 saat itu, maka anda wajib utk menonton film ini. Paling tidak film berhasil mengobati kekecewaan saya akan film2 musim panas yang ditunggu2 seperti Transformers II dan Harry Potter and The Half Blood Prince.

8.5/10

Senin, 20 Juli 2009

An Hour To Live, An Hour To Love

Ya, akhirnya ngeblog lagi setelah sekian lama vakum... :D

Sebelumnya mau mengucapkan turut berduka cita bagi seluruh korban, baik yang meninggal maupun yang terluka akibat bom yang meledak di dua hotel internasional, Ritz Carlton dan JW. Marriott pada hari Jumat, 17 Juli 2009. Bagi keluarga korban agar diberikan ketabahan dan kekuatan dalam menghadapi permasalahan ini. Tuhan Yesus memberkati...

Oke, gw ga mau ngebahas peristiwa pemboman tersebut. Kita serahkan semuanya kepada pihak berwenang untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Bagi gw sudah cukup kita mendoakan agar para teroris laknat tersebut sadar dari kesalahan2 mereka. Camkan!!! mereka, teroris laknat tersebut, tidak akan pernah sadar. Mulai sekarang kita harus mendoakan agar pihak kepolisian dan jajaran terkait dapat bekerja dengan baik dan segera menuntaskan masalah ini. Kita harus mendoakan juga agar para teroris tersebut segera tertangkap dan semua jaringan teroris dapat dilacak dan dihancurkan.

Nah, entah ada hubungannya atau tidak, terkait dengan peristiwa pemboman jumat kemarin, pada hari kamisnya gw beli sebuah buku yang ga terlalu tebal tapi menurut gw inspiratif bgt. Judul bukunya : An Hour To Live, An Hour To Love, Bingkisan Cinta bagi Orang Tersayang (Richard Carlson & Kristine Carlson). Sebenarnya bukan buku seh. Isinya adalah sebuah surat yang ditulis oleh Richard Carlson untuk istrinya, Kristine Carlson tepat pada ulang tahun pernikahan mereka yang ke-18. Surat yang tidak hanya berkesan buat Kristine tp juga tidak langsung merupakan pertanda dari Richard Carlson bahwa dirinya tidak akan lama lagi akan meninggalkan dunia ini utk selamanya.

Richard Carlson, penulis buku inspiratif, Don't Sweat the Small Stuff, mendadak meninggal di usianya yang baru 45 tahun pada bulan Desember 2006. Kejadian tersebut mengejutkan para penggemarnya. Tetapi yang paling kehilangan tentu saja sang istri tercinta, Kristine Carlson. Di saat2, yang menurut Kristine adalah saat2 tergelap dalam kehidupannya, Kristine membaca2 lagi surat2 cinta Richard untuknya selama 25 tahun kebersamaan mereka.

Ada satu surat yang setelah dibaca oleh Kristine ternyata begitu mengena di hatinya. Bahkan ia menganggap bahwa surat Richard tersebut adalah hadiah terindah yang pernah diterimanya dari sang suami. Surat tersebut berjudul An Hour To Live : Siapa yang akan Kau telpon, dan mengapa kau menunggu? Sebagian besar isi surat tersebut didasarkan dari sebuah kutipan yang disukai oleh Richard. Kutipan dari seorang Stephen Levine, "Jika kau hanya bisa hidup satu jam lagi dan kau hanya bisa menelpon satu kali, siapa yang akan kau telpon, apa yang akan kau katakan... dan mengapa kau menunggu?" Dari kutipan tersebut, Richard menulis surat dan menurut saya sekalian adalah sebuah testimoni/wasiat seorang Richard untuk keluarganya. Surat tersebut sendiri terbagi dalam 3 bagian, yakni, Siapa Yang Akan Kau Telpon, Apa yang akan kau katakan dan terakhir adalah Mengapa Harus Menunggu? Ketika saya membacanya, hati saya benar2 diusik akan kualitas kehidupan saya selama ini. Pada intinya, Richard melalui suratnya tersebut mengingatkan kita utk menjalani kehidupan ini dengan sebaik2nya karena kita ga pernah tau kapan kita meninggalkan dunia utk selama2nya.. Jalani kehidupan hari ini seakan2 hidup kita hanya tinggal 1 jam lagi.

Kejadian pemboman jumat kemarin bnar2 membuat mata kita semakin terbuka, bahwa begitu murahnya nyawa seseorang. Hanya dalam hitungan detik, tercabut 9 nyawa anak manusia dan puluhan lainnya terluka. Mungkin bagi yang luka2 masih ada kesempatan untuk bs berkumpul lagi dengan keluarganya tetapi bagi korban yang meninggal tidak ada kesempatan lagi. Membaca surat Richard akan membuka mata hati dan pikiran kita. Sudah sejauh mana hubungan kita dengan keluarga kita, saudara2, teman, dll? Apakah kita sudah menjalani suatu hubungan yang harmonis atau belum? dan yang lebih terpenting jika kau tahu bahwa hidupmu hanya tinggal satu jam lagi dengan siapa kau akan menghabiskan waktu?? Perkataan Richard Carlson dalam suratnya tersebut mungkin bs menjadi bahan pencerahan utk kita. Richard menuliskan, "Sekarang sudah hampir waktunya bagiku mengucapkan selamat tinggal, dan aku tahu dalam hati ini bukan utk selamanya. Aku tahu aku akan melihatmu lagi-entah kapan, dengan cara tertentu, di suatu tempat, dalam bentuk tertentu. Aku ingin menghabiskan sisa waktu kita dalam keheningan bersamamu, mendengarkan derai hujan dan gemertak kayu perapian. Aku ingin memelukmu erat utk terakhir kali. Jika diberi kesempatan mengulangi kehidupanku, aku akan menghabiskan jauh lebih banyak waktu dengan memeluk orang2, khususnya kau dan anak2 kita, Terima kasih Kris. Terima kasih telah menjadi dirimu. Aku mencintaimu."

Sebagai penutup saya akan mengutip kembali perkataan Richard, "Kau akan paling diingat bukan karena prestasimu dalam kehidupan, tp dari seberapa baik kau hidup dan seberapa banyak cinta yang kaubawa dalam hatimu."