Minggu, 29 Juli 2012

Menjawab Tuduhan (Bagian Enam)

KONSILI NICEA (Bagian Kedua)


HOMOOUSIOS ATAU HOMOI-OUSIOS

Setelah para uskup mengetahui dan menolak apa yang menjadi teologi Arius, mereka sepakat untuk membuat sebuah pernyataan resmi yang akan disusun dan ditandatangani oleh semua uskup yang hadir. Hosius, penasihat teologi Konstantinus, diangkat sebagai juru tulis dokumen yang baru. Tetapi dalam pembuatan pernyataan tersebut, para uskup terbentur oleh masalah istilah. Kelompok pendukung Arius menginginkan agar hanya dipakai istilah-istilah yang digunakan dalam Alkitab, sedangkan para uskup penentang Arius menegaskan perlu adanya bahasa di luar Alkitab untuk menguraikan makna kata-kata dalam Alkitab.

Konstantinus yang melihat perdebatan yang semakin meruncing memanggil Hosius untuk dimintai pendapatnya. Hosius segera menyampaikan pendapatnya dan Konstantinus menilai apa yang disampaikan oleh Hosius dapat menjadi solusi bagi kedua belah pihak yang berbeda pendapat. Konstantinus mengusulkan bahwa Sang Anak memiliki “hakikat yang sama” (Yunani: homoousios) seperti Bapa. Istilah ini dianggap Konstantinus akan menunjukkan Yesus sepenuhnya bersifat ilahi (sehingga dapat diterima oleh pihak yang menentang Arius) tanpa menyiratkan terlalu banyak penafsiran yang lain (sehingga melenyapkan kekhawatiran pendukung Arian). Sebagian besar uskup kelihatan bersedia menerima rumusan ini. Tetapi, pendukung Arius yang berhaluan keras menilai istilah itu sarat makna. Dalam pandangan mereka, istilah homoousios mengakui kesetaraan Yesus dengan Bapa namun tidak menjelaskan secara memadai bagaimana kesetaraan itu dapat selaras dengan kepercayaan kepada Tuhan yang Esa.

Tanpa mempedulikan penentangan keras dari segelintir orang, para uskup yang menyetujui rumusan homoousios maju terus dengan dukungan mayoritas dan menyusun suatu pengakuan iman yang menyatakan Kristus sehakikat dengan Bapa. Pengakuan iman tersebut adalah :

Aku percaya akan satu Elohim, Bapa yang Maha Kuasa, Pencipta langit dan bumi dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan.

Dan akan Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah yang Tunggal, Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad. Allah dari Allah, terang dari terang. Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan, bukan dijadikan, sehakekat (homoousios) dengan Bapa, segala sesuatu dijadikan olehnya.Ia turun dari sorga untuk kita manusia, dan untuk keselamatan kita, dan Ia menjadi daging oleh Roh Kudus dari perawan Maria dan menjadi manusia.Ia pun disalibkan untuk kita waktu Pontius Pilatus, Ia wafat kesengsaraan dan dimakamkan. Pada hari ketiga Ia bangkit, menurut Kitab Suci. Ia naik ke sorga, duduk di sisi kanan Bapa. Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati; Kerajaan-Nya takkan berakhir.

Aku percaya akan Roh Kudus, Tuhan yang menghidupkan; yang berasal dari Bapa dan Putra, yang serta Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan. Ia bersabda dengan perantaraan para nabi. Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, universal dan apostolik. Aku mengakui satu pembaptisan akan penghapusan dosa. Aku menantikan kebangkitan orang mati, dan kehidupan di dunia yang akan datang. Amin.”


Semua uskup menandatangani pengakuan itu, kecuali Theonas dari Marmarika dan Sekundus dari Ptolemais. Tetapi pesan keseluruhan sangat jelas : Paham Arianisme tidak sesuai dengan iman Kristen secara historis dan apa yang dipraktikkan dalam gereja.

Dalam perkembangan selanjutnya, ada beberapa orang yang kurang setuju dengan rumusan homoousios. Mereka khawatir, rumusan yang dimaksud untuk mengatakan Bapa dan Anak memiliki hakikat yang sama dapat dipelintir sehingga Bapa dan Anak dimengerti sebagai pribadi yang sama. Kelompok ini mengusulkan, jika rumusan homoousios diubah sedikit, selesailah persoalannya.

Dalam bahasa Yunani, perbedaan kata “sama” (homo) dan “serupa” (homoi) hanya terletak pada huruf “i” (atau iota). Dengan mengubah homo-ousios menjadi homoi-ousios, sebagian orang yang anti Arius mengatakan Anak mempunyai “hakikat yang serupa” dengan Bapa. Dengan kata lain, mereka menegaskan keilahian Anak namun melihat Dia sebagai pribadi yang berbeda dengan Bapa. Tetapi kalangan anti Arius lainnya menolak rumusan yang lebih longgar ini. Mereka berpendapat rumusan homoi-ousios tidak sepenuhnya menggambarkan kesetaraan Kristus yang bersifat hakiki dengan Allah. Lagipula, Arius dan para pendukungnya sangat senang menggunakan istilah yang lebih longgar ini untuk Kristus yang diciptakan. Oleh karena itu, banyak kalangan anti Arius tetap berpegang teguh dengan istilah homoousios. Athanasius adalah salah satu orang yang tetap berpegang pada pengakuan iman Nicea. Ia tidak mau mengalah sedikit pun - bahkan satu iota pun.

Dalam tulisan berikutnya kita akan berkenalan dengan tokoh Athanasius tersebut yang luar biasa teguhnya memegang keyakinan iman Nicea.


Bacaan lebih lanjut mengenai Konsili Nicea :

1. Philip Schaff, History of The Christian Church (New York: Scribners, 1882)

2. Roger E. Colson, The Story of Christian Theology (Downers Grove, IL: InterVarsity Press, 1999)

Sabtu, 21 Juli 2012

Menjawab Tuduhan (Bagian Lima)


KONSILI NICEA (Bagian Pertama)

Beberapa tahun belakangan ini muncul klaim populer yang menyatakan bahwa keilahian Yesus diciptakan di Nicea. Beberapa apologet muslim menggunakan klaim ini untuk menyerang keyakinan vital umat Kristen ini. Mereka menganggap bahwa sebelum Konsili Nicea, Yesus hanyalah nabi biasa. Kaisar Romawi, Konstantinus lah yang menjadi aktor intelektual lahirnya keyakinan bahwa Yesus adalah Tuhan melalui sebuah sidang, yakni Konsili Nicea.

Ironisnya, klaim yang sama ini akan dianggap ketinggalan zaman oleh umat Kristen abad ke-4.

Dalam tulisan kali ini, saya mencoba untuk menuliskan apa yang menjadi masalah sesungguhnya di Nicea.

Tuduhan : “Dengan mendukung Yesus secara resmi sebagai Anak Allah, Konstantinus mengubah Yesus menjadi Yang Ilahi yang berada di luar lingkup dunia manusia, suatu sosok yang kuasanya tak dapat digugat.” ~ Dan Brown, The Da Vinci Code, hal. 233.

Jawab :

Titik mula perjalanan menuju Nicea adalah di sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah di bagian barat laut Mesir, Alexandria. Kota ini dalam sejarah kekristenan awal memiliki peran penting. Beberapa teolog besar Kristen berasal dari kota metropolitan ini.

Pada masa Uskup Alexander, seorang teolog dan pemimpin gereja yang disegani, terjadi perdebatan serius dalam sebuah sesi seminar bagi para pejabat gereja senior. Arius, seorang imam dari sebuah wilayah gereja di Alexandria, berdebat dengan Alexander tentang bagaimana tepatnya melukiskan status Yesus yang ilahi. Alexander menegaskan, Yesus mempunyai semua sifat ilahi yang dimiliki Sang Bapa, termasuk kekekalan. Arius percaya, Yesus bersifat ilahi, karena Dia serupa dengan Bapa. Ia sudah ada sebelum penciptaan dunia dan turut berkarya dalam penciptaan. Tetapi Yesus tidak bersifat kekal. Ia hanyalah makhluk yang diciptakan Bapa dari ex nihilo (dari ketiadaan) sejak kekal. Sifat ilahi Yesus dengan Bapa tidak identik. Dengan kata lain, Yesus memiliki keilahian yang lebih rendah dari Bapa. Dalam perdebatan tersebut, Arius kalah telak dengan pembelaan Alexander di dalam seminar tersebut.

Alexander tidak tinggal diam. Ia dengan gigih mempertahankan bahwa keilahian bersifat mutlak. Alexander menganalogikannya dengan kehamilan. Seorang perempuan tidak mungkin hamil setengah-setengah. Seekor kangguru akan melahirkan anak kangguru, manusia akan melahirkan anak manusia, dan akhirnya sesuatu yang ilahi akan melahirkan yang ilahi. Yesus seharusnya memiliki seluruh sifat keilahian, atau pilihannya Dia sama sekali bukan ilahi.

Tetapi tampaknya Arius tidak mau mengalah begitu saja. Ia tetap mengajarkan pemikirannya tersebut. Bahkan Arius menyalahkan Alexander atas tumbuh dan berkembangnya bidat Sabelianisme (kecenderungan untuk menganggap Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah manifestasi yang berbeda-beda dari Tuhan). Alexander sebenarnya adalah pemimpin yang lembut dan sangat menghindari konflik, tetapi ia sadar ia tidak dapat diam saja ketika persoalannya sudah menyangkut keilahian Yesus. Keyakinan ini adalah batu penjuru dalam bangunan kekristenan. Hal ini juga menyangkut kebenaran keselamatan manusia. Oleh karena itu pada tahun 318, Alexander mengumpulkan sekitar 100 uskup di Alexandria untuk membicarakan hal itu, lalu secara resmi memecat Arius dari jabatan gerejawinya.

Arius sangat marah mendengar pemecatan dirinya dari jabatan yang disandangnya. Ia pindah ke Nikomedia (wilayah Turki modern) dan menghimpun para pendukungnya (di kemudian hari, para pendukungnya tersebut dikenal dengan kaum Arian dan pandangan teologisnya mengenai keilahian Yesus disebut Arianisme). Salah satu pendukung terkuatnya adalah Eusebius dari Nikomedia, yang mempunyai hubungan keluarga dengan kaisar Konstantinus melalui pernikahan. Arius dan Eusebius melancarkan suatu kampanye tertulis kepada para uskup yang tidak ikut dalam sidang pemecatan Arius. Hal ini cukup berhasil sehingga menyulut gerakan yang berdampak eksplosif. Tiap-tiap hari selalu ada bentrokan fisik antara pendukung Alexander dengan Arius di jalanan.

Karena terjadi di salah satu kota besar di wilayah kekuasaan Romawi, kerusuhan ini segera terdengar oleh kaisar Konstantinus. Patut diingat, bahwa ketika itu agama Kristen telah disahkan oleh Kontantinus sebagai agama kekaisaran. Akibat dekrit tersebut, jumlah pemeluk agama Kristen menjadi meningkat tajam. Oleh karena itu, Konstantinus merasa resah dengan konflik yang semakin menajam antara pendukung Alexander dengan Arius. Sebagai Kaisar ia tidak memusingkan adanya perbedaan pemikiran yang terjadi di antara warga negaranya asalkan itu tidak membawa suatu pertikaian fisik. Posisi Konstantinus jelas, ia menghendaki kedamaian di kekaisarannya. Persatuan dan kesatuan di dalam kerajaannya lah yang menjadi tujuannya setelah selama puluhan tahun terjebak dalam serangkaian perang saudara.

Untuk mengakhiri konflik ini, Konstantinus mengundang semua uskup di wilayah kekaisarannya pada tahun 325. Karena ia sedang menginap di istananya di tepi danau, di Nicea yang merupakan wilayah timur dari kekaisarannya, maka kebanyakan uskup yang hadir adalah uskup-uskup yang bertugas di wilayah timur. Hanya 6 uskup dari wilayah barat yang hadir dalam pertemuan tersebut. Konstantinus memperlakukan dengan spesial para uskup tersebut. Tamu-tamu terhormat tersebut tiba di Nicea dengan menggunakan transportasi khusus kekaisaran. Biaya perjalanan ditanggung seluruhnya oleh istana. Tidak hanya itu mereka pun disambut dengan hadiah-hadiah mewah dan diberi penginapan mewah dan aman. Konstantinus melakukan hal ini untuk mempersatukan gereja di dalam kekaisarannya. Tetapi bukan Konstantinus yang mengambil keputusan akhir dalam pertemuan tersebut.


 Konsili Para Martir!

Yang tidak diketahui atau ditutup-tutupi oleh para penuduh abad sekarang ini adalah bahwa para uskup yang hadir dalam sidang di Nicea tersebut  lebih biasa menerima siksaan daripada dimanja. Semua yang hadir pernah mengalami siksaan di bawah kaisar Diokletianus (memerintah sekitar 284-305), kaisar yang berusaha untuk melenyapkan kekristenan dari muka bumi dan Maksimianus (memerintah 286-305) yang tidak segan-segan menghukum mati orang-orang yang menolak menyangkal Kristus.

Menurut laporan, banyak dari para uskup yang memiliki tanda-tanda bekas siksaan. Ada uskup yang kehilangan mata kanannya, ada yang berjalan timpang, beberapa lagi tidak dapat memakai jari tangannya akibat syaraf-syaraf tangannya telah mati akibat disodok oleh besi panas, beberapa lagi kehilangan kaki atau tangan. Begitu nyata tanda penganiyaan tersebut, sehingga seorang penulis sejarah gereja mengatakan, “Konsili itu kelihatan seperti sidang para martir!” Jadi para penuduh yang menyatakan bahwa para uskup yang hadir tunduk pada keputusan Konstantinus mendapat bukti nyata dan telak. Tentunya, para uskup yang telah mendapat siksaan yang luar biasa kejamnya tersebut tidak akan mengorbankan integritas rohaninya dan begitu mudah didikte mengenai apa yang mereka percaya tentang Kristus, tanpa peduli ada atau tidak tekanan dari kaisar.

Hal lain yang dapat mementahkan argumen para penuduh adalah bahwa tidak ada satu pun uskup yang hadir dalam Konsili Nicea mengira bahwa keilahian Yesus yang akan dibahas dalam konsili itu. Keilahian Yesus adalah kepercayaan umum yang dipegang oleh para uskup dan seluruh umat Kristen saat itu selama lebih dari tiga abad. Sama seperti para pendahulu mereka, para uskup dan jemaat Kristen, secara aktif menyembah Yesus, berdoa kepadaNya dan mengakui Dia sebagai Tuhan! Hal inilah yang saya tulis pada tulisan pengantar pada tema ini yang menyatakan bahwa klaim bahwa keilahian Yesus diciptakan di (konsili) Nicea adalah klaim yang dianggap ketinggalan zaman oleh umat Kristen abad keempat.

Apa yang terjadi dalam konsili tersebut adalah bahwa para uskup lebih banyak berkotbah daripada berpolitik. Mereka terbeban bagi jemaat mereka dan demi kesetiaan kepada “bapa-bapa gereja yang kudus”. Mereka menghimpun hikmat dari bapa-bapa gereja untuk memahami hakikat Kristus dan tentunya mencari kesaksian Roh tentang kebenaran dalam konteks umat. Melihat hal ini sudah cukup membungkam para penuduh abad sekarang ini bahwa tidak mungkin Konstantinus, selaku kaisar, dapat mengintervensi atau bahkan mengarahkan konsili tersebut kepada satu tujuan. Para uskup dalam konsili lebih mementingkan tradisi rasuli yang dipercayai selama tiga abad terakhir, bahkan mereka rela meninggalkan teologi yang dipraktikkan dalam jemaat mereka untuk bersatu dengan umat Kristen lainnya yang lebih luas untuk membicarakan apa yang telah dipraktikkan bersama-sama.

Kaisar bukanlah teolog. Oleh karena itu ia mengandalkan penasihat teologinya, Hosius, untuk memetakan persoalan kepadanya. Konstantinus ingin mendapat suatu penyelesaian yang didukung oleh sebagian besar uskup, tidak menjadi soal apa pun isinya. Ia hanya memikirkan keutuhan kekaisarannya daripada rumusan teologis yang tepat. Tidak lama setelah dimulainya persidangan, ada beberapa uskup yang meminta agar pendirian Arius dijelaskan terlebih dahulu. Arius hanyalah imam sehingga ia tidak dapat hadir dalam konsili. Ia diwakili oleh sahabat sekaligus pendukung utamanya, Eusebius dari Nikomedia. Eusebius menggunakan kesempatan ini untuk menjelaskan pendirian Arius secara gamblang. Ia benar-benar berusaha keras untuk menjelaskan bahwa Anak sama sekali tidak setara dengan Bapa dan sesungguhnya hanyalah makhluk terbatas. Para uskup yang hadir terkejut dengan penjelasan Eusebius. Sejarawan gereja, Roger E . Colson, menceritakan keadaan saat itu :

Beberapa uskup menutupi telinga mereka dengan tangan mereka dan berteriak supaya ada orang yang menghentikan hujatan-hujatan itu (penjelasan Eusebius tentang posisi Arius). Seorang uskup dekat Eusebius maju dan merebut naskah dari tangannya, lalu mencampakkannya ke lantai dan menginjak-injaknya. Keadaan kacau ini baru berhenti atas perintah kaisar.” (Roger E. Colson, The Story of Christian Theology (Downers Grove. IL : InterVarsity Press, 1999, hal. 153-154)

Para uskup yang sebelumnya tidak tahu dengan pasti duduk persoalannya dan belum menentukan sikapnya langsung memandang Arius sebagai pihak yang berseberangan. Mayoritas uskup tidak dapat menerima pendirian yang menganggap bahwa Yesus terbatas. Keilahian yang terbatas bukanlah keilahian. Semakin banyak yang mendesak agar konsili mengeluarkan pernyataan resmi melawan teologi Arius atau Arianisme.

Para uskup tidak senang dengan apa yang dikatakan Arius dan para pengikutnya tentang natur anak yang terbatas. Mereka tahu apa yang tidak mereka percayai. Namun, bagaimana mereka dapat merumuskan dengan tepat apa yang mereka percayai tentang keilahian Kristus? Jadi, masalah utama di Nicea adalah menentukan bagaimanabukan apakah – Yesus bersifat ilahi.

Apa yang terjadi dalam konsili tersebut dalam menentukan bagaimana Yesus bersifat ilahi? Kita akan mengetahuinya dalam tulisan saya berikutnya....