Rabu, 14 Desember 2011

Bukan Natal Yang Saya Kenal (Bagian Pertama)

Prolog

Kurang dari dua minggu lagi umat Kristen di seluruh dunia akan merayakan hari kelahiran Yesus Kristus atau singkatnya merayakan Natal. Saya sebagai seorang kristiani pun, bersama dengan keluarga saya, juga turut merayakan Natal. Di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, suasana perayaan tersebut bahkan sudah sangat kentara. Pohon natal dari cemara, lampu-lampu hias, Santa Claus, dan berbagai ornamen khas Natal sudah menghiasi tiap sudut kota maupun pusat perbelanjaan. Lagu-lagu Natal pun mulai disenandungkan, baik oleh orang2 biasa sampai penyanyi terkenal. Satu lagi yang khas dalam perayaan Natal adalah kartu ucapan Natal. Walaupun saat ini adalah era e-mail dan jejaring sosial, kartu natal tetap memainkan peranan penting untuk menyampaikan salam Natal kepada orang tua, kekasih, atau sahabat. Biasanya gambar-gambar tema dalam kartu-kartu Natal tersebut menampilkan sebuah pemandangan yang teduh dan damai. Dua malaikat kecil yang saling bercanda, sebuah kota yang bersalju di mana berlalu - lalang kereta2 kuda, satu keluarga suci yang kepala mereka ditudungi oleh Halo (lingkaran cahaya) yang berwarna keemasan seperti mahkota, dll. Semuanya menyampaikan pesan yang sama, Natal yang damai, suci dan penuh kasih.

Tetapi apakah Natal yang seperti itu yang dialami oleh Maria, Yusuf dan Bayi dalam kandungan Maria, 2000 tahun yang lalu di kota kecil Betlehem? Natal yang damai, suci dan penuh kasih.

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah buku yang sangat bagus (paling tidak untuk saya). Buku ini ditulis oleh Phillip Yancey, seorang editor umum di majalah Christianity Today. Judul buku tersebut adalah The Jesus I Never Knew. Pada bab 2 dalam buku tersebut, Yancey menyampaikan sebuah view yang berbeda tentang peristiwa kelahiran Yesus Kristus. Sebuah view yang akan saya bagikan dan tentunya juga termasuk di dalamnya hasil perenungan saya, seorang jemaat Kristen biasa.


Sebuah kabar yang mengguncang!

Peristiwa kelahiran Yesus Kristus tercatat dalam 2 Injil, Matius dan Lukas. Dalam Injil Lukas kita memperoleh rangkaian cerita yang cukup lengkap yang menceritakan kelahiran Yesus Kristus. Didahului dengan kedatangan Malaikat Gabriel yang hendak menyampaikan kabar dari Tuhan. Respon Maria sangat manusiawi, “Maria terkejut mendengar perkataan itu...” (Lukas 1:29) sehingga Gabriel mengatakan “Jangan takut, hai Maria...” (Lukas 1:30) untuk menenangkan Maria.

Saya cukup familier dengan sebuah karya lukisan terkenal yang menggambarkan situasi perjumpaan Maria dengan Gabriel. Dalam lukisan tersebut, Maria terlihat begitu damai, agak tertunduk di hadapan Gabriel. Seakan-akan kabar dari Tuhan yang disampaikan melalui Gabriel kepada dirinya adalah sebuah berkat yang begitu indah. Tetapi apakah kabar tersebut menghasilkan berkat yang indah bagi Maria dan Yusuf dan juga seluruh keluarga Maria dan Yusuf?

Gabriel berkata, “Sesungguhnya engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Elohim Yang Mahatinggi. Dan Tuhan akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhurNya, dan Ia akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan KerajaanNya tidak akan berkesudahan." (Lukas 1:31-33)

Setelah mendengar kabar yang luar biasa itu Maria meresponnya dengan sebuah jawaban, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami!” Alkitab versi NIV (New International Version) menulis : “How will this be,” Mary asked the Angel, “since I am a virgin?”. Tampaknya Maria tahu bahwa kabar tersebut bukanlah kabar baik. Kabar tersebut dapat membahayakan hidupnya dan membuat aib bagi keluarganya dan juga tunangannya, Yusuf.

Kita hidup di masa modern, di mana berita tentang gadis-gadis remaja yang kehilangan keperawanannya, bahkan sampai hamil di luar nikah, sangat sering dijumpai. Belum hilang dalam ingatan saya, peristiwa seorang gadis pelajar SMU yang melahirkan di toilet sekolahnya. Selama 9 bulan ia dengan baik menyembunyikan kehamilannya. Kemudian juga dengan berita tentang survey yang diadakan salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang perempuan yang menyatakan bahwa sekitar 70% gadis pelajar SMP di Jakarta sudah hilang keperawanan. Sebuah kabar yang sungguh luar biasa menyedihkan. Tetapi inilah kenyataannya, kita hidup di tengah-tengah pergaulan yang sangat bebas hingga melabrak semua batasan etika, yang sekitar 30 tahun lalu sangat diagungkan.

Sesungguhnya engkau akan mengandung dan melahirkan... “. Tidak ada yang salah dengan kata mengandung dan melahirkan. Bukankah kedua kata itu adalah suatu hal yang sangat diharapkan oleh sebuah pasangan suami istri yang menikah, mengandung dan melahirkan seorang anak. Tetapi tidak bagi Maria dan Yusuf. Mereka belum menikah, mereka baru saja bertunangan. Apa yang akan dialami oleh Maria, yaitu mengandung dan melahirkan, akan membawa akibat fatal. Hukum Yahudi mengatur bahwa wanita yang hamil di luar nikah akan dianggap sebagai pezinah, hukumannya adalah rajam hingga mati. Melihat hukuman yang akan ia terima, wajar saja Maria menganggap kabar dari Gabriel adalah kabar yang mengguncangkan.

Dalam Injil Matius, Yusuf bermaksud menceraikan Maria dengan diam-diam dan tidak menuntut demi nama baik Maria. Tetapi malaikat Tuhan mendatangi Yusuf dalam mimpi dan menjelaskan mengapa Maria mengandung, "Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus.” (Matius 1:20). Yusuf pun tidak jadi menceraikan Maria. Kemudian Maria pun akhirnya memilih untuk taat kepada kabar yang disampaikan oleh Gabriel dan menjawab, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Yancey menulis dalam bukunya, Jesus I Never Knew, bahwa seringkali karya Tuhan datang dengan dua sisi, sukacita besar dan penderitaan berat. Maria dalam kesederhanaannya menerima keduanya. Tak pelak lagi, ia adalah orang pertama yang menerima Yesus apa adanya, tanpa mempedulikan harga yang harus dibayarnya.

Maria kemudian pergi ke rumah kerabatnya di sebuah kota di Yehuda. Kerabatnya ini adalah Elizabeth dan Zakaria yang tidak lama sebelumnya juga mengalami mukjizat dari Tuhan. Zakaria yang sedang menjalankan tugas keimamannya didatangi oleh malaikat yang memeberitahukan kabar bahwa istrinya akan melahirkan anak laki-laki. Masalahnya, ia dan Elizabeth sudah tua dan Elizabeth pun mandul. Ketidakpercayaan Zakharia membuat dirinya bisu hingga kelahiran putranya. Setelah saya membaca hal ini dalam Alkitab, saya berpikir mungkin alasan inilah yang membuat Maria pergi mendatangi Elizabet. Maria berpikir mungkin Elizabet dapat mengerti dengan apa yang dialami oleh dirinya. Bukankah Elizabet juga baru saja mendapat mukjizat yang secara logika medis tidak mungkin terjadi? Dan benar, Elizabeth percaya kepada Maria dan turut bergembira, “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana." (Lukas 1:42-45)

Yancey kembali menulis dalam bukunya, “pertemuan antara Elizabeth dan Maria memperlihatkan kontras antara kedua wanita tersebut. Seluruh desa bersukacita tentang rahim Elizabeth yang disembuhkan, sedangkan Maria harus menyembunyikan rapat-rapat mukjizat yang dialaminya.” Kelahiran Yohanes Pembaptis dirayakan dalam sebuah pesta tradisional khas Yahudi, sedangkan Yesus harus lahir dalam sebuah kandang hewan, tanpa kerabat atau nyanyian-nyanyian penduduk desa.

Saya membayangkan bahwa Maria dengan perut yang semakin membesar harus berjalan di tengah komunitasnya yang mempergunjingkan keadaan kehamilannya yang tidak jelas. Malcolm Muggeridge membandingkan keadaan Maria pada saat itu dengan dunia modern, “Sangat tidak mungkin bahwa dengan keadaan seperti itu, Yesus akan dibiarkan untuk lahir pada masa sekarang. Kehamilan Maria yang di luar pernikahan dan tidak jelasnya siapa pria yang menghamili dirinya, akan menjadi sebuah kasus yang sangat dianjurkan untuk dilakukan aborsi. Kemudian ucapan Maria bahwa ia mengandung karena Roh Kudus turun atas dirinya akan membuat dirinya mendapat perawatan mental.”

Dalam hal ini, timbul pertanyaan dalam diri saya. Mengapa Tuhan yang Maha Kuasa memilih prosesi kedatanganNya melalui kelahiran dalam situasi yang memalukan dan sangat tidak manusiawi? Jawabannya akan kita temukan dalam tulisan yang akan saya bagi dalam beberapa part. Tetapi tentu saja tulisan ini bukanlah jawaban mutlak dari suatu kebenaran. Semuanya hanyalah hasil dari perenungan saya ketika saya membaca kembali kisah kelahiran Yesus. Mungkin akan terlihat sedikit dramatisasi, tetapi itulah yang saya rasakan ketika saya membaca ulang kisah kelahiran Yesus dalam Injil, dan bukankah kita semua suka dengan kisah2 yang dramatis?

~ bersambung...

2 komentar:

  1. selamat datang kembali di dunia per-blog-an
    semoga tulisannya bisa menjadi berkat buat orang lain :)

    BalasHapus
  2. hehehheheeee... okie dokie... JBU :D

    BalasHapus