Sampailah saya pada sebuah
pertanyaan, “apa yang saya dapat pelajari tentang Tuhan dari peristiwa
kelahiran Yesus di Betlehem?”
Saya setuju dengan pendapat
Phillip Yancey. Ia menyatakan bahwa peristiwa kelahiran Yesus membawa suatu
penggambaran tentang Tuhan yang rendah hati, bisa didekati, sederhana dan
berani. Gambaran-gambaran tersebut mungkin bagi anda adalah suatu gambaran yang
tidak pantas bagi Tuhan Semesta Alam. Tapi itulah yang saya temui dalam kisah
kelahiran Yesus.
Rendah hati.
Dalam pelajaran sejarah
Yunani, kita belajar bagaimana gambaran tentang dewa-dewa Olympus. Mereka
berhasil mengalahkan para Titan dan mengukuhkan kekuasaan mereka atas kehidupan
manusia dan alam semesta. Tuhan melalui Yesus menampilkan sosok Tuhan yang
rendah hati. Tuhan tidak datang melalui peristiwa alam yang dahsyat. Tidak ada
awan hitam pekat dan kilat sabung-menyabung seperti yang dilihat oleh bangsa
Israel di gunung Sinai. Elia, salah satu nabi besar Israel pernah mengalami
situasi perjumpaan dengan Tuhan tidak melalui sebuah peristiwa spektakuler. “Maka
firman TUHAN datang kepadanya, demikian: "Apakah kerjamu di sini, hai
Elia?" Jawabnya: "Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah
semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan
mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang
dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku." Lalu firman-Nya:
"Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan TUHAN!" Maka
TUHAN lalu! Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan
bukit-bukit batu, mendahului TUHAN. Tetapi tidak ada TUHAN dalam angin itu. Dan
sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada TUHAN dalam gempa itu. Dan
sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan
sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa. Segera sesudah Elia
mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya, lalu pergi ke luar dan
berdiri di pintu gua itu. Maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi:
"Apakah kerjamu di sini, hai Elia?" (1 Raja-raja 19:9-13)
Ya, Tuhan ternyata hadir
dalam angin sepoi-sepoi biasa, bukan melalui angin ribut, gempa bumi, ataupun
api. Rasul Paulus memahami hal ini sehingga dengan tepat menulis bahwa Tuhan
melalui Yesus, “telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang
hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Filipi 2:7). Melalui Yesus-lah,
orang-orang Kristen mengenal Tuhannya yang rendah hati.
Orang Yahudi mempercayai
bahwa pada suatu saat Mesias yang dijanjikan Tuhan akan datang menyelamatkan
mereka. Alam pikiran mereka tentang Mesias larut dalam sosok Daud yang perkasa
dan Salomo yang berwibawa. Ya, Mesias yang diharapkan mereka adalah Mesias yang
membawa mereka kepada kemenangan dan kejayaan. Tapi Mesias yang muncul,
mengenakan kemuliaan dalam bentuk yang lain, kemuliaan dalam kerendahan hati.
Sosok Tuhan yang perkasa dalam kitab-kitab sejarah bangsa Israel ternyata hadir
dalam dunia melalui sosok bayi ringkih yang menangis dan tergantung sepenuhnya
kepada perlindungan seorang gadis muda. Sudah tentu orang-orang Yahudi yang
diwakili kaum Farisi, Saduki dan ahli-ahli Taurat menolak Yesus sebagai Mesias
mereka.
Beberapa bulan yang lalu,
Indonesia mendapat kunjungan kenegaraan dari presiden Amerika serikat, Barack
Obama. Dalam kunjungannya tersebut, Obama dikawal oleh satuan pengawal
presiden, Secret Service dan didukung oleh armada tempur lengkap yang beroperasi
di Asia Pasifik yang siap diterjunkan apabila terjadi peristiwa yang
membahayakan keselamatan presiden Obama. Kunjungan Obama ke Indonesia
diperkirakan menelan biaya puluhan jutaan dolar. Sebuah kunjungan yang mahal
dan spektakuler.
Sebaliknya, kunjungan Tuhan
ke dalam dunia ciptaanNya mengambil tempat di kandang hewan, tanpa perlindungan
malaikat, bahkan tempat berbaring Sang Raja hanyalah sebuah palungan. Tetapi
peristiwa tersebut membagi periode sejarah dan penanggalan menjadi dua, BC
(Before Christ) dan AD (Anno Domine). Lebih penting lagi bahwa kunjungan Tuhan
ke dalam dunia dan diakhiri dengan peristiwa Golgota membawa keselamatan bagi
umatNya. Kutuk dosa dipatahkan di kayu salib. Kunjungan Tuhan membawa dampak
lebih besar bagi kehidupan manusia.
Tuhan juga tidak mengundang
para pejabat tinggi atau orang-orang berpengaruh dalam merayakan kelahiranNya.
Dalam Injil, berita kelahiran tersebut disampaikan para malaikat kepada para
gembala yang sedang melakukan tugasnya menjaga domba-domba kepunyaan orang
lain. Ya, berita agung itu disampaikan kepada gembala-gembala miskin, buta
huruf dan bahkan nama-nama mereka tidak tercatat.
Dalam struktur sosial
masyarakat Yahudi saat itu, posisi para gembala dikelompokkan ke dalam
“orang-orang tak bertuhan alias kafir”. Dalam Bait Tuhan, tempat mereka
hanyalah sampai pada pelataran luar saja. Tetapi justru merekalah yang dipilih
Tuhan untuk membantu merayakan kelahiranNya. Sesudah dewasa, Yesus dikenal
orang-orang sebagai “sahabat para pendosa”.
Yesus menghadirkan citra
Tuhan yang rendah hati kepada manusia.
Bisa didekati.
Dalam banyak ritual
religius, rasa takut adalah perasaan utama ketika seseorang menyembah Tuhannya.
Bangsa Yahudi pun seperti itu, “Seluruh bangsa itu menyaksikan guruh
mengguntur, kilat sabung-menyabung, sangkakala berbunyi dan gunung berasap.
Maka bangsa itu takut dan gemetar dan mereka berdiri jauh-jauh.” Mereka tidak
berani masuk begitu saja ke dalam ruang-ruang tertentu dalam Bait Tuhan. Mereka
tidak berani untuk menyebut nama Tuhan. Jika mereka menulis nama Tuhan dalam
kitab, maka mereka akan mematahkan alat tulis tersebut.
Apakah seorang bayi mungil
dan lemah di palungan adalah sosok yang menakutkan? Saya rasa tidak. Melalui
Yesus, Tuhan menemukan cara terbaik untuk berhubungan dengan umatNya tanpa
melibatkan rasa takut.
Melalui sejarah perjalan
bangsa Israel, Tuhan paham benar bahwa rasa takut tidak pernah memberikan hasil
yang baik dalam ketaatan dan kesetiaan. Perjanjian Lama mengisahkan bangsa
Israel yang berulang kali jatuh dalam berbagai dosa. Jauh sebelum kelahiran
Yesus, nabi-nabi telah menubuatkan adanya sebuah perjanjian yang baru yang akan
membuat umat Tuhan akan menyembahNya bukan dalam rasa takut. Sebuah pendekatan
yang tidak menekankan jurang yang lebar antara Tuhan dengan manusia, tetapi
justru menjembatani keterpisahan tersebut.
Melalui Injil kita
disuguhkan adegan Tuhan Yang Maha Kuasa mengambil bentuk dalam ciptaan. Tuhan
seperti pembuat naskah yang menjadi karakter dalam naskahnya, atau pelukis yang
menjadi sebuah garis dalam lukisannya. Tuhan menulis kisah baru dan turut serta
dalam kisah tersebut, dalam panggung sejarah yang sesungguhnya. Firman itu
telah menjadi daging.
Dua gambaran Tuhan yang
lain akan saya hadirkan dalam tulisan saya selanjutnya.
~ bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar