KONSILI NICEA (Bagian Pertama)
Beberapa
tahun belakangan ini muncul klaim populer yang menyatakan bahwa keilahian Yesus
diciptakan di Nicea. Beberapa apologet muslim menggunakan klaim ini untuk
menyerang keyakinan vital umat Kristen ini. Mereka menganggap bahwa sebelum
Konsili Nicea, Yesus hanyalah nabi biasa. Kaisar Romawi, Konstantinus lah yang
menjadi aktor intelektual lahirnya keyakinan bahwa Yesus adalah Tuhan melalui
sebuah sidang, yakni Konsili Nicea.
Ironisnya,
klaim yang sama ini akan dianggap ketinggalan zaman oleh umat Kristen abad
ke-4.
Dalam
tulisan kali ini, saya mencoba untuk menuliskan apa yang menjadi masalah
sesungguhnya di Nicea.
Tuduhan
: “Dengan mendukung Yesus secara resmi
sebagai Anak Allah, Konstantinus mengubah Yesus menjadi Yang Ilahi yang berada
di luar lingkup dunia manusia, suatu sosok yang kuasanya tak dapat digugat.”
~ Dan Brown, The Da Vinci Code, hal. 233.
Jawab
:
Titik
mula perjalanan menuju Nicea adalah
di sebuah kota yang terletak di pesisir Laut
Tengah di bagian barat laut Mesir, Alexandria.
Kota ini dalam sejarah kekristenan awal memiliki peran penting. Beberapa teolog
besar Kristen berasal dari kota metropolitan ini.
Pada
masa Uskup Alexander, seorang teolog
dan pemimpin gereja yang disegani, terjadi perdebatan serius dalam sebuah sesi
seminar bagi para pejabat gereja senior. Arius,
seorang imam dari sebuah wilayah gereja di Alexandria, berdebat dengan Alexander tentang bagaimana tepatnya
melukiskan status Yesus yang ilahi. Alexander menegaskan, Yesus mempunyai semua sifat ilahi yang
dimiliki Sang Bapa, termasuk kekekalan. Arius
percaya, Yesus bersifat ilahi,
karena Dia serupa dengan Bapa. Ia sudah ada sebelum penciptaan dunia dan turut
berkarya dalam penciptaan. Tetapi Yesus
tidak bersifat kekal. Ia hanyalah makhluk yang diciptakan Bapa dari ex
nihilo (dari ketiadaan) sejak kekal. Sifat ilahi Yesus dengan Bapa
tidak identik. Dengan kata lain, Yesus memiliki keilahian yang lebih rendah
dari Bapa. Dalam perdebatan tersebut, Arius kalah telak dengan pembelaan
Alexander di dalam seminar tersebut.
Alexander
tidak tinggal diam. Ia dengan gigih mempertahankan bahwa keilahian bersifat
mutlak. Alexander menganalogikannya dengan kehamilan. Seorang perempuan tidak
mungkin hamil setengah-setengah. Seekor kangguru akan melahirkan anak kangguru,
manusia akan melahirkan anak manusia, dan akhirnya sesuatu yang ilahi akan
melahirkan yang ilahi. Yesus seharusnya memiliki seluruh sifat keilahian, atau
pilihannya Dia sama sekali bukan ilahi.
Tetapi
tampaknya Arius tidak mau mengalah begitu saja. Ia tetap mengajarkan
pemikirannya tersebut. Bahkan Arius menyalahkan Alexander atas tumbuh dan
berkembangnya bidat Sabelianisme (kecenderungan untuk menganggap Bapa, Putra
dan Roh Kudus adalah manifestasi yang berbeda-beda dari Tuhan). Alexander
sebenarnya adalah pemimpin yang lembut dan sangat menghindari konflik, tetapi
ia sadar ia tidak dapat diam saja ketika persoalannya sudah menyangkut
keilahian Yesus. Keyakinan ini adalah batu penjuru dalam bangunan kekristenan.
Hal ini juga menyangkut kebenaran keselamatan manusia. Oleh karena itu pada
tahun 318, Alexander mengumpulkan sekitar 100 uskup di Alexandria untuk
membicarakan hal itu, lalu secara resmi memecat Arius dari jabatan gerejawinya.
Arius
sangat marah mendengar pemecatan dirinya dari jabatan yang disandangnya. Ia
pindah ke Nikomedia (wilayah Turki modern) dan menghimpun para pendukungnya (di
kemudian hari, para pendukungnya tersebut dikenal dengan kaum Arian dan pandangan teologisnya mengenai keilahian Yesus disebut Arianisme). Salah
satu pendukung terkuatnya adalah Eusebius dari Nikomedia, yang mempunyai
hubungan keluarga dengan kaisar Konstantinus melalui pernikahan. Arius dan
Eusebius melancarkan suatu kampanye tertulis kepada para uskup yang tidak ikut
dalam sidang pemecatan Arius. Hal ini cukup berhasil sehingga menyulut gerakan
yang berdampak eksplosif. Tiap-tiap hari selalu ada bentrokan fisik antara
pendukung Alexander dengan Arius di jalanan.
Karena
terjadi di salah satu kota besar di wilayah kekuasaan Romawi, kerusuhan ini
segera terdengar oleh kaisar Konstantinus. Patut diingat, bahwa ketika itu
agama Kristen telah disahkan oleh Kontantinus sebagai agama kekaisaran. Akibat
dekrit tersebut, jumlah pemeluk agama Kristen menjadi meningkat tajam. Oleh
karena itu, Konstantinus merasa resah dengan konflik yang semakin menajam
antara pendukung Alexander dengan Arius. Sebagai Kaisar ia tidak memusingkan
adanya perbedaan pemikiran yang terjadi di antara warga negaranya asalkan itu
tidak membawa suatu pertikaian fisik. Posisi Konstantinus jelas, ia menghendaki
kedamaian di kekaisarannya. Persatuan dan kesatuan di dalam kerajaannya lah
yang menjadi tujuannya setelah selama puluhan tahun terjebak dalam serangkaian
perang saudara.
Untuk
mengakhiri konflik ini, Konstantinus mengundang semua uskup di wilayah
kekaisarannya pada tahun 325. Karena ia sedang menginap di istananya di tepi
danau, di Nicea yang merupakan wilayah timur dari kekaisarannya, maka kebanyakan
uskup yang hadir adalah uskup-uskup yang bertugas di wilayah timur. Hanya 6
uskup dari wilayah barat yang hadir dalam pertemuan tersebut. Konstantinus
memperlakukan dengan spesial para uskup tersebut. Tamu-tamu terhormat tersebut
tiba di Nicea dengan menggunakan transportasi khusus kekaisaran. Biaya
perjalanan ditanggung seluruhnya oleh istana. Tidak hanya itu mereka pun
disambut dengan hadiah-hadiah mewah dan diberi penginapan mewah dan aman.
Konstantinus melakukan hal ini untuk mempersatukan gereja di dalam
kekaisarannya. Tetapi bukan Konstantinus yang mengambil keputusan akhir dalam
pertemuan tersebut.
Konsili
Para Martir!
Yang
tidak diketahui atau ditutup-tutupi oleh para penuduh abad sekarang ini adalah
bahwa para uskup yang hadir dalam sidang di Nicea tersebut lebih biasa menerima siksaan daripada
dimanja. Semua yang hadir pernah mengalami siksaan di bawah kaisar Diokletianus
(memerintah sekitar 284-305), kaisar yang berusaha untuk melenyapkan
kekristenan dari muka bumi dan Maksimianus (memerintah 286-305) yang tidak
segan-segan menghukum mati orang-orang yang menolak menyangkal Kristus.
Menurut
laporan, banyak dari para uskup yang memiliki tanda-tanda bekas siksaan. Ada
uskup yang kehilangan mata kanannya, ada yang berjalan timpang, beberapa lagi
tidak dapat memakai jari tangannya akibat syaraf-syaraf tangannya telah mati
akibat disodok oleh besi panas, beberapa lagi kehilangan kaki atau tangan.
Begitu nyata tanda penganiyaan tersebut, sehingga seorang penulis sejarah
gereja mengatakan, “Konsili itu kelihatan seperti sidang para martir!” Jadi
para penuduh yang menyatakan bahwa para uskup yang hadir tunduk pada keputusan
Konstantinus mendapat bukti nyata dan telak. Tentunya, para uskup yang telah
mendapat siksaan yang luar biasa kejamnya tersebut tidak akan mengorbankan
integritas rohaninya dan begitu mudah didikte mengenai apa yang mereka percaya
tentang Kristus, tanpa peduli ada atau tidak tekanan dari kaisar.
Hal
lain yang dapat mementahkan argumen para penuduh adalah bahwa tidak ada satu
pun uskup yang hadir dalam Konsili Nicea mengira bahwa keilahian Yesus yang
akan dibahas dalam konsili itu. Keilahian Yesus adalah kepercayaan umum yang
dipegang oleh para uskup dan seluruh umat Kristen saat itu selama lebih dari
tiga abad. Sama seperti para pendahulu mereka, para uskup dan jemaat Kristen,
secara aktif menyembah Yesus, berdoa kepadaNya dan mengakui Dia sebagai Tuhan!
Hal inilah yang saya tulis pada tulisan pengantar pada tema ini yang menyatakan
bahwa klaim bahwa keilahian Yesus diciptakan di (konsili) Nicea adalah klaim
yang dianggap ketinggalan zaman oleh umat Kristen abad keempat.
Apa
yang terjadi dalam konsili tersebut adalah bahwa para uskup lebih banyak
berkotbah daripada berpolitik. Mereka terbeban bagi jemaat mereka dan demi
kesetiaan kepada “bapa-bapa gereja yang kudus”. Mereka menghimpun hikmat dari
bapa-bapa gereja untuk memahami hakikat Kristus dan tentunya mencari kesaksian
Roh tentang kebenaran dalam konteks umat. Melihat hal ini sudah cukup
membungkam para penuduh abad sekarang ini bahwa tidak mungkin Konstantinus,
selaku kaisar, dapat mengintervensi atau bahkan mengarahkan konsili tersebut
kepada satu tujuan. Para uskup dalam konsili lebih mementingkan tradisi rasuli
yang dipercayai selama tiga abad terakhir, bahkan mereka rela meninggalkan
teologi yang dipraktikkan dalam jemaat mereka untuk bersatu dengan umat Kristen
lainnya yang lebih luas untuk membicarakan apa yang telah dipraktikkan
bersama-sama.
Kaisar
bukanlah teolog. Oleh karena itu ia mengandalkan penasihat teologinya, Hosius,
untuk memetakan persoalan kepadanya. Konstantinus ingin mendapat suatu
penyelesaian yang didukung oleh sebagian besar uskup, tidak menjadi soal apa
pun isinya. Ia hanya memikirkan keutuhan kekaisarannya daripada rumusan
teologis yang tepat. Tidak lama setelah dimulainya persidangan, ada beberapa
uskup yang meminta agar pendirian Arius dijelaskan terlebih dahulu. Arius
hanyalah imam sehingga ia tidak dapat hadir dalam konsili. Ia diwakili oleh
sahabat sekaligus pendukung utamanya, Eusebius dari Nikomedia. Eusebius
menggunakan kesempatan ini untuk menjelaskan pendirian Arius secara gamblang.
Ia benar-benar berusaha keras untuk menjelaskan bahwa Anak sama sekali tidak
setara dengan Bapa dan sesungguhnya hanyalah makhluk terbatas. Para uskup yang
hadir terkejut dengan penjelasan Eusebius. Sejarawan gereja, Roger E . Colson,
menceritakan keadaan saat itu :
“Beberapa
uskup menutupi telinga mereka dengan tangan mereka dan berteriak supaya ada
orang yang menghentikan hujatan-hujatan itu (penjelasan Eusebius tentang posisi
Arius). Seorang uskup dekat Eusebius maju dan merebut naskah dari tangannya,
lalu mencampakkannya ke lantai dan menginjak-injaknya. Keadaan kacau ini baru
berhenti atas perintah kaisar.” (Roger E. Colson, The Story of Christian
Theology (Downers Grove. IL : InterVarsity Press, 1999, hal. 153-154)
Para
uskup yang sebelumnya tidak tahu dengan pasti duduk persoalannya dan belum
menentukan sikapnya langsung memandang Arius sebagai pihak yang berseberangan.
Mayoritas uskup tidak dapat menerima pendirian yang menganggap bahwa Yesus
terbatas. Keilahian yang terbatas bukanlah keilahian. Semakin banyak yang
mendesak agar konsili mengeluarkan pernyataan resmi melawan teologi Arius atau
Arianisme.
Para
uskup tidak senang dengan apa yang dikatakan Arius dan para pengikutnya tentang
natur anak yang terbatas. Mereka tahu
apa yang tidak mereka percayai.
Namun, bagaimana mereka dapat merumuskan dengan tepat apa yang mereka percayai
tentang keilahian Kristus? Jadi, masalah utama di Nicea adalah menentukan bagaimana – bukan apakah – Yesus bersifat ilahi.
Apa
yang terjadi dalam konsili tersebut dalam menentukan bagaimana Yesus bersifat ilahi? Kita akan mengetahuinya dalam
tulisan saya berikutnya....